Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Sahabat yang Hilang...

24 Desember 2010
Diary,,,
Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang kurasakan sekarang. Melampiaskan semua yang menjadi uneg- unegku. Sebenarnya aku tidak ingin mengeluh, tapi biarlah tulisan ini menjadi saksi bahwa apa yang kurasakan, mampu kupikul dengan segala kemampuanku. Maafkan aku Ya Allah... apapun skenarioMu akan coba aku terima denga ikhlas. Apapun itu. Bahkan sahabatku yang ternyata tidak begitu mau tahu apa yang kurasakan, semoga mampu kuterima dengan ikhlas juga. Semoga kekuatan dan ketenangan ini menjadi senjata untuk tetap menyimpan semuanya dengan senyum...
25 Desember 2010
Diary,,,
Sebenarnya aku tidak ingin menjadi orang yang sangat cengeng dan manja. Aku tidak ingin lemah menjalani hidup dan kehidupan ini. Setiap episode kehidupan kuyakini sebagai langkahku untuk menuju perbaikan diri, sepahit apapun episode kehiduan yang kujalani. Namun, beberapa waktu terakhir ini, aku merasakan sebuah episode kehidupan yang sangat membuatku terpukul. Semoga bukan karena kesalahan, tapi hanya sebagai ujian dari Allah saja yang kuanggap sebagai penempa diriku untuk terus mengadakan perbaikan.
26 Desember 2010
Diary,,,
Aku masih tertegun sendiri, menyaksikan lalu lalang kendaraan yang melintas di depan masjid kampusku. Tampak begitu penuh keteraturan sesuai lorong- lorong jalan yang sudah kusediakan. Semua seakan tampak tidak ada masalah. Berbeda denganku yang penuh kekalutan, penuh dengan pikiran- pikiran yang sama sekali tidak teratur mengikuti ritme yang seharusnya.
27 Desember 2010
Diary,,,
Sungguh aku tidak ingin persahabatanku berhenti sampai di sini. Jujur, aku bingung, apa yang salah dari diriku, hingga sahabatku tampak sekali menyalahkanku atas kondisi ini. Aku memang belum mampu menjadi sahabat sempurna baginya, tapi bukankah selama ini kita enjoy saja dengan dinamika persahabatan ini?
Kurasakan, aku memang masih seperti dulu. Cerah ceria seakan tanpa duka, tertawa sana tertawa sini sekan tak pernah ada masalah, dengan segala karakter yang bagiku tidak menghambat perkembangan perbaikan diriku. Namun, ternyata sahabat yang selama ini begitu kucintai dan kubanggakan, menganggapku telah berubah. Banyak hal yang kemudian membuat dia begitu marah kepadaku, hingga aku mengalami kekalutan seorang diri tanpa tahu apa yang terjadi hingga membuat sahabatku seakan- akan membenciku. Aku sudah berulang kali mengagendakan untuk saling bicara, berdua menyelesaikan segala yang menurutnya adalah permasalahan. Tapi dia memang seakan tidak punya waktu untukku. Semua tentang dirinya seakan- akan sudah tertutup bagiku.
Diary,,,
Sahabat yang dulu membuatku begitu bersemangat, membuatku begitu bangga kepadanya, kini sekan- akan begitu jauh dariku. Seakan- akan selalu menghindar dari kebersamaan denganku. Entahlah... kurasakan ini adalah fase- fase pahit kehidupanku...
Ya Allah...
Jadikan aku setegar batu karang,
Sekokoh tancapan gunung,
Dan sekuat baja yang berkualitas,
Dengan semua kondisi ini...
Akhir Desember 2010
Diary,,, aku merasakan semakin begitu jauh dengan sahabatku. Aku semakin tidak tahu apa yang menjadi masalah baginya. Dunia terasa semakin pekat dihadapanku. Namun, aku tetap tidak bisa berbuat apa- apa.
Ya Allah,,, kalaulah ini memang ujianMu, aku yakin mampu menyelesaikannya. Mungkin hanya butuh waktu saja...

Senin, 27 Desember 2010

Kata Gibran tentang kebenaran persahabatan…

Sahabat adalah kebutuhan jiwa yang mesti terpenuhi…

Dialah ladang hati yang kau taburi dengan kasih dan kau panen jasa terima kasih
Dia pulalah naungan, karena engkau menghampirinya saat hati lapar dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian
Dan bilamana dia diam, hatimu tiada henti merangkum bahasa hatinya
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu
Jika dia tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal musim pasangmu
Carilah dia untuk bersama menghidupkan waktu
Karena dialah yang bisa mengisi kekurangan bukan untuk mengisi kekosonganmu
Dalam manisnya persahabatan biarkanlah ada tawa ria, berbagi kebahagiaan
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi hati manusia menemukan fajar hari dan gairah segar kehidupan

Sabtu, 25 Desember 2010

Agar Ngampus Tak Sekedar Status

Jika aku mau
Aku bisa hidup semauku
Untuk diri sendiri
Melakoni apapun dengan enak hati
Mencari kesenangan, kesuksesan untuk diri sendiri
Sayang,,, aku terlanjur tahu...
Bahwa hidup bukan sebuah permainan
Bukan pula sesederhana yang kita pikirkan
Hidup adalah pilihan...
Untuk melakoni seadanya atau menyebarkan energi dan menjadi berarti...

Dunia kampus sarat dengan pilihan. Apakah kita ingin menjalaninya dengan mengalah saja, atau melakukan lompatan- lompatan yang tidak terduga. Kita tidak hanya bisa sekedar ngampus...kuliah...kos...kongkow...kantin...dsb. ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam jangka waktu 4-5 tahun di kampus.
Aktivis, Siapa Mereka?
Kampus tidak pernah sepi dari para aktivisnya. Orang- orang yang dalam perkembangannya selama menjadi mahasiswa memiliki ketertarikan untuk ‘berbuat lebih’ dari sekedar memajukan diri sendiri lewat angka- angka indeks prestasi.
Aktivis kampus, secara sederhana dapat kita wakilkan pada orang- orang atau teman- teman kita yang secara langsung menceburkan dirinya pada organisasi- organisasi di kampusnya baik internal (BEM/ Senat, UKM, Dewan Mahasiswa, dan sebagainya) atau eksternal (pergerakan mahasiswa, ormas, dan organisasi- organisasi di luar kampus).
Saat awal- awal kita memilih ikut masuk dalam sebuah organisasi, pasti empat jawaban ini yang dilontarkan:
a. Menambah teman
b. Cari pengalaman
c. Belajar berorganisasi
d. Mengisi waktu
Sah- sah saja dan tidak masalah dengan jawaban itu. Tapi ternyata, memilih untuk aktif dalam berbagai kegiatan kampus dan pilihan menjadi aktivis bisa jadi tidak sesederhana itu. Ternyata, banyak yang kita dapatkan bahkan lebih banyak daripada apa yang kita sadari.
Jadi, aktivis kampus bukan orang- orang yang hanya mencantumkan namanya di sebuah organisasi, bukan pula orang yang hanya menjadi penggembira. Aktif di kampus ternyata bukan sekedar mencari teman atau mengisi waktu luang.
Aktif di Kampus, Why?
Banyak jawaban menarik dan mendasar yang bisa kita temui saat menggali pertanyaan itu. Jawaban- jawaban yang membuktikan komitmen mereka terhadap apa yang mereka rasa sebagai pilihan sadar, keterlanjuran, bahkan panggilan jiwa saat mereka tercebur dalam aktivitas- aktivitas di kampus selain kuliah. Ada banyak manfaat daripada sekedar mengisi waktu luang atau menambah teman.
1. Sebaik- baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain
Seorang teman, sebut saja namanya Adi, mantan Presiden BEM, pernah menjawab dengan lugas dan mantap perihal pilihannya untuk malang- melintang di berbagai kegiatan dikampus maupun di luar kampus. Begini katanya:
“Karena saya tahu siapa saya dan saya tahu apa manfaat yang saya dapatkan. Jadi orang biasa sudah banyak. Saya ingin menjadi ‘extra ordinary person’ yang bisa memberi manfaat untuk orang lain. Dan dengan beraktivitas, maka akan tergali potensi diri.”
Dari jawaban tersebut mengandung visi yang luar biasa, dan energi kata- katanya mencerminkan semangat yang ditularkan di setiap aktivitas yang dikerjakan. Seorang aktivis bukan ‘sekedar’ mendapatkan apa- apa yang tampak dan hanya berguna untuk dirinya. Visi yang jelas telah pula dicetuskan oleh Rasulullah, “Sebaik- baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain”. Rupanya, sahabat kita tadi mengerti betul bahwa hanya dengan melakukan aktivitas- aktivitas itulah semua potensi dirinya akan terus tergali. Dan dengannya, aktivitas demi aktivitas akan terus dilakukannya untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Jadi, memilih menjadi aktivis bukan sekedar untuk diri sendiri, bukan?

2. Optimalisasi Masa Studi
Pilihan untuk aktif di kampus sebenarnya berawal dari optimalisasi masa studi. Bayangkan jika dalam jangka waktu 4-5 tahun kita tidak melakukan apapun kecuali kuliah. Masa di kampus hanya sebentar dan itu hanyalah salah satu fase yang harus kita tempuh. Banyak hal yang harus kita persiapkan untuk menghadapi banyak hal setelah kuliah nanti.

3. Aktif di Kampus Itu Panggilan Jiwa, Mempertahankan Idealisme
Seorang teman pernah merasa sangat ingin ‘melepaskan’ semua aktivitas- aktivitas yang digelutinya di kampus. Tapi, setiap kali ingin ‘berhenti’ dia selalu merasa terpanggil lagi untuk terus berpartisipasi dan terus meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk kegiatan- kegiatan tersebut.
Panggilan jiwa! Begitu katanya. Pilihanuntuk aktif di kampus berkaitan erat dengan idealisme yang kita yakini. Kadang, banyak teman yang masih saja merasa perlu ‘memperjuangkan’ idealisme dan kebenaran yang ia yakini. Dan dengan itulah ada energi yang terus mendorongnya untuk bergerak. Memberikan nuansa perubahan bagi dirinya dan orang lain.

4. Aktif di kampus itu merubah cara berpikir
“Saya seorang yang biasa- biasa saja waktu di SMA. Saya tidak terlalu tertarik untuk banyak berkecimpung di organisasi. Namun saat saya kuliah, banyak melihat kondisi yang begitu plural. Saya bergerak untuk mengasah potensi saya. Dan ternyata hasilnya luar biasa! Saya menemukan hal- hal yang dahulu saya merasa tidak mungkin dapat melakukannya. Saya terbiasa menyelesaikan masalah, saya jadi menemukan potensi- potensi saya. Kepemimpinan dan manajerial, misalnya”
Mungkin hal serupa banyak dialami hampir sebagian besar aktivis kampus. Kita dapat melihat teman- teman kita yang ‘biasa- biasa’ saja saat SMP, SMA, namun begitu cepat melejit saat dia kuliah. Kita mendengarnya menjadi salah satu tokoh di kampus. Sebenarnya ketenaran bukan standar seorang aktivis. Yang paling penting dari komentar di atas adalah bahwa teman kita itu mengalami perubahan cara berpikir. Perubahan paradigma. Cara dia memandang dirinya dan mengakui perubahan- perubahan dalam dirinya. Ada lompatan yang dilakukannya secara sadar, berupa kesadaran untuk berpartisipasi dalam kegiatan- kegiatan yang berskala lebih luas di kampusnya.
Mahasiswa yang aktif di kampus dengan berbagai kegiatan dan terbiasa menghadapi suasana yang beragam akan terbentuk menjadi pribadi yang bisa dan biasa dengan perbedaan. Lebih toleran dan terbiasa memecahkan masalah. Selain itu, dengan aktif di berbagai kegiatan kita menjadi seorang yang bisa memberikan argumen terhadap apa yang kita yakini, supel, dan tidak monoton.
Cara berpikir dan proses kita memahami sesuatu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan seberapa luas pergaulan kita. Selain itu, masukan- masukan dari apa yang kita baca, pengalaman yang kita dapatkan, sangat membantu kita memiliki cara berpikir yang luas dan kepribadian yang terbuka. Akyivitas di kampus (selain kuliah) dapat memberikan kita hal- hal baru tersebut. Jadi, terjunlah di sana dan rasakan perubahan yang akan Anda alami.

5. Sebab Tidak Semua Dikuliahkan
Tidak semua akan kita dapatkan di bangku kuliah. Itulah kenapa aktif di kampus menjadi pilihan. Ada banyak hal yang tidak kita dapatkan hanya dengan datang ke kampus, kuliah, lalu pulang. Memang tidak semua orang harus ‘dipaksa’ menjadi seorang aktivis. Semua orang punya pilihan untuk mewarnai hidupnya bukan?
Pelajaran tentang memahami orang lain, pelajaran tentang tanggung jawab, kepedulian, pelajaran tentang cara menyelesaikan masalah. Dan semua pelajaran yang hanya bisa kita dapatkan jika kita mengalaminya.
Jadi, pilihan menjadi aktivis kampus sebenarnya timbul dari dorongan untuk mendapatkn nilai lebih dari sekedar kuliah. Kadang untuk mendapatkan pengalaman- pengalaman di dunia kampus selain kuliah, kita bisa secara sadar ‘masuk’ dalam aktivitas- aktivitas tersebut, bisa juga karena tidak sengaja terlibat, bahkan terjebak ke dalam aktivitas- aktivitas tersebut. Tapi, beruntunglah orang- orang yang ‘terjebak’ ke dalam hal- hal yang ‘positif’, iya kan?

Kamis, 23 Desember 2010

Balada Motor Melimpah Parkir Susah

Terik matahari menyapa riang, mengiringi langkahku meninggalkan gerbang sekolah. Membakar. Anehnya, di belahan bumi Indonesia lainnya, ada yang terkena banjir. Mungkin ini yang disebut- sebut pemanasan global, ya?
Panasnya bumi mendamparkanku ke halte bus di dekat pasar. Biasanya, aku cukup menunggu angkot yang lewat di depan sekolah. Tak perlu capek- capek jalan setengah kilo begini. Rutenya juga lebih enak. Pas banget turun di depan rumah.
Namun sepertinya kondisi ini akan berlangsung, setidaknya, selama beberapa bulan ke depan. Pasalnya, jalan raya yang dilewati mobil biru favoritku itu sedang perbaikan besar- besaran. Praktis rutenya harus dialihkan. Namanya juga trayek dadakan, sudah pasti muter- muter. Belok gang ini, memutari kampung yang satu, lalu keluar gang itu di kampung satunya lagi. Sekali saja deh, aku menyemarakkan ruang BP bersama gerombolan anak yang telat. Dan cukup sekali pula aku ketiduran hingga kebablasan sampai pangkalan saat perjalanan pulang gara- gara angkotnya kelamaan ngetem nggak kunjung dapat penumpang.
Setengah jam di halte akhirnya dapat bus juga. Penuh sesak!
Si mobil panjang tersaruk- saruk mengangkut kami ke tujuan masing- masing. Alhamdulillah...kebagian tempat duduk. Kalau aku laki- laki, pasti aku ikut gelantungan di pintu. Separuh badan berhmpitan di dalam, sementara sisanya terpanggang di jalanan, beradu dengan hembusan angin dari kendaraan yang lalu lalang. Kalau hujan mereka juga harus rela dihajar derasnya tumpahan bah dari langit. Dan, untuk sepasang atau malah satu kaki yang juga tak mengnjak sempurna itu, tak lantas membuat mereka membayar separuh pula.
“Eh, kantor pos, Pak!” seruku terkaget- kaget. Kuserahkan dua lembar ribuan kepada kondektur yang tiba- tiba muncul sambil mengguncangkan uang receh di depan hidungku.
Laju bus yang merayap mengantarkanku ke dalam lamunan. Banyak sekali yang muncul di benak. Tumpukan PR yang gila- gilaan sampai nyaris bikin gila beneran. Ada lagi tugas kelompok, buat makalah. Yang namanya tugas kelompok, kalau bukan di rumah, ya di rumah teman, kan? Terus bedanya PR sama tugas apa? Belum lagi laporan praktikum yang harus di kumpulkan pekan ini. Banjir ulangan yang entah disengaja atau tidak, terjadwal pekan depan.
Emang sih, sekarang lebih banyak ke warnet ketimbang nge-mall atau JJS ramai- ramai nggak jelas juntrungan. Ngomong- ngomong soal mencari bahan di internet, bukan tidak mungkin para guru itu tahu kalau aku dan teman- teman hanya copy-paste? Kami jarang banget cari bahan di perpustakaan atau dari diktat. Teman- teman yang tak mau kehilangan waktu main, nonton, dan pacaran lebih parah lagi. Mereka santai banget, asal contek jawaban PR. Tanpa beban. Tanpa sesal. Habis mau gimana? Waktunya mepet! Mana sempat?
“Aaah, pusing...pusing! Terserah deh. Ruwet!” gumamku tanpa sadar.
“Iya nih, emang ruwet. Bikin pusing!” sebuah suara entah dari mana.
Aku kaget. Perasaan suaraku pelan. Spontan aku melirik sebelahku. Bapak- bapak lagi kipas- kipas. Bukan ah! Tepisku, yakin. Jelas- jelas suaranya perempuan. Penasaran mataku menjelajah mencari kambing hitam.
“Masih jauh, Dek! Wong kita lagi terjebak macet. Simpang lima sini kan memang selalu ruwet kalau jam- jam berangkat atau pulang sekolah”, celetuk bapak- bapak di sebelahku demi melihat kepalaku celingak- celinguk. Seulas senyum manis kuhadiahkan untuk informasi singkat barusan.
“Gimana nggak pusing?”, suara itu terdengar lagi.
Oooh,, rupanya suara mbak- mbak yang berdiri menyandar kursi di depanku. Tangan kirinya mendekap sebuah buku tebal, sementara tangannya yang lain mengipasi mukanya. Sepertinya dia sedang ngobrol seru dengan mas- mas di hadapannya.
“Semester satu dulu tempat parkir cuma satu, itu pun hari- hari tertentu aja yang full. Sekarang udah semester lima. Area parkir nambah satu di gedung samping. Tapi malah tambah ruwet. Lapangan volly sama pelataran gedung bawah jadi alih fungsi. Kasihan deh yang pada kuliah di kelas- kelas bawah. Itu motor kan datang-perginya nggak terjadwal, jadi selalu bising, lah! Belum lagi kalau latihan volly pas sore. Masih full motor tu lapangan. Gimana bisa latihan?”, lanjut mbak- mbak yang terdengar dongkol berat.
“Huu, gitu aja dibikin pusing! Bisa nggak lulus- lulus kamu! Berani taruhan, mau ditambah dua sampai tiga area parkir lagi, lapangan volly sama pelataran kampusmu bakal tetep banjir motor.” Komentar temannya.
Wah, sepertinya menarik nih. Nguping, ah! Jarang lho, orang mau ngegosipin area parkir. Lagian, sepertinya mereka nggak peduli obrolan mereka dikonsumsi publik.
“Jangan melotot gitu!”, mas- mas tadi menyambung.
“Fakultasku juga, kok! Dulu Cuma ada dua area parkir di samping gedung D sama E. Sekarang... tetep dua sih, tapi lahan- lahan kosong, yang dulu penuh rumput sama semak, habis disemen. Yang dibangun malah bangku- bangku beton sama gazebo. Bisa nebak dong, pelan tapi pasti, para motor- motor mahasiswa membanjiri lahan- lahan kosong itu. Mobil- mobil juga tak mau kalah. Masih mending fakultasmu hanya tiga jurusan. Tempatku enam. Bayangin aja ruwetnya!”
“Iya, ya? Dipikir- pikir aneh juga, kalau diperhatikan, motor mereka keluaran terbaru semua lho. Kinclong- kinclong, gitu. Kemarin- kemarin pas aku bawa motor, giliran mau pulang gampang banget carinya. Terlihat jelas antara yang jadul sama yang baru keluar dari pabrik, hehe...!”
“Sembarangan!”
Aku tersenyum sendiri. Area parkir sekolahku sendiri tak ubahnya dealer serba ada. Segala merek, entah Jepang entah China, mulai kelas 100cc hingga 125 cc, empat tak atau jet matic, semuanya ada. Di pinggir jalan raya, di depan sekolah juga berderet mobil- mobil mengkilap milik teman- teman borjuku. Lucu!
Guru- guru seolah tak mau tersaingi muridnya. Buktinya, dari beberapa gelintir di area parkir, kini mobil mereka sudah sampai ke halaman. Yang duluan bermobil juga tambah gaya, bisa gonta- ganti sesuka hati. Malu dong disamakan! Gitu kali ya pikir mereka?”
“Kalau bukan karena malu, lalu apa?” sambung lelaki itu lagi.
“Ya itu tadi. Bingung parkirnya, malas antar keluarnya, macet. Kayak sekarang ini nih! Padahal tren inovasi motor sekarang kan racing, ya? Lha, kalau macet melulu, nggak optimal dong!”
“Kata siapa? Buktinya kecelakaan di jalan raya meningkat signifikan. Tugas polisi jadi ikut- ikutan optimal, kan?”
“Mau gimana lagi? Penduduk makin banyak, kebutuhan transportasi otomatis naik dong! Itu kali salah satu alasan pemerintah bangun jalan di sana- sini.”
“Waduh, pantesan aja simpul ruwet ini makin ruwet. Orang mahasiswanya aja cara mikirnya masih kayak kamu. Penduduk banyak berbanding lurus dengan kebutuhan transportasi, itu betul. Fakta. Tapi, kalau solusinya bangun jalan, yang ujung- ujungnya gusar- gusur rumah dan tanah rakyat, berani taruhan, endingnya bakalan sama kayak area parkir di fakultas kita. Jalan raya, selain tambah lebar, juga tambah macet.”
“Kok bisa?” tanyaku di dalam hati.
Tanpa disadarinya, mas- mas tadi menyahuti kebingunganku. “Ya, bisa! Solusinya bukan di jalan raya, tapi transportasi!”
“Lha iya...kan banyak banget sekarang sampai membludak gini. Harus dilebarin kan?”
“Huuh,, dengerin dulu! Belum- belum udah dipotong!”
Aku makin penasaran.
“Negeri dengan penduduk sebanyak Indonesia ini, yang pulaunya berserakan di mana- mana, bukan hanya butuh alat transportasi yang banyak, melainkan juga bagus dan murah. Jangan motong dulu! Yang aku maksud transportasi umum. Bukan motormu, motorku, atau mobil- mobil di luar sana itu.”
“Maksudmu nyaman, bersih, tepat waktu, rutenya jelas, nggak sodok sana- sini kejar setoran, gitu kan? Wah, itu di luar negeri sono Bos! Di sini, kalau punya sendiri, ngapain naik bus? Panas! Berdiri melulu, nggak duduk- duduk, atau gelantungan kayak di luaran itu! Jalannya, kalau nggak pelan banget, ya ngebut sambil balapan sama temennya. Dan yang paling nyebelin nih, selalu aja ada yang nggak punya perasaan nyalain cerobong lokomotif,” sungut mbak itu. Suaranya sengaja dikeraskan saat menyoal rokok.
“Nah, ini dia ,masalah utamanya,’ si mas tersenyum lucu, “Pemerintah selalu setengah- setengah membenahi transportasi. Makanya kita- kita pada malas naik kendaraan umum. Di sisi lain, izin impor kendaraan mewah dipermudah, pajak dipermurah, pabrik- pabrik perakitan kendaraan bermotor juga nggak pernah sepi inovasi. Sampai- sampai syarat kredit motor bisa luar biasa gampangnya. Akibatnya, orang- orang berlomba nambah atau gonta- ganti kendaraan. Parahnya lagi, KTP aja belum wajib, tapi udah pada gatal punya SIM. Gimana jalan nggak penuh kalau satu rumah dengan empat anggota keluarga aja misalnya, satu kepala satu mobil?”
“Perhatikan saja kota kecil kita ini! Ada stasiun, terminal juga ada, bandara dekat. Dan yang lebih fantastis lagi, ada rel melintang di tanah kota warisan kolonial yang ajaibnya masih berfungsi. Itu modal, Bos! Transportasi paling cocok di negeri berpenduduk padat adalah yang bisa ngangkut banyak orang sekali jalan. Coba kalau semua fasilitas itu tertata rapi, nyaman, dan murah! Kita bisa ke mana- mana naik trem kayak di Jepang atau Eropa, lho. Wuih, asyik banget tuh!”
“Iya, apalagi kalau pedestrian dan jalur lambat asri. Enaknya! Jujur aja, untuk kota yang jarak antar pusat aktivitasnya nggak jauh- jauh amat, naik sepeda atau jalan kaki lebih asyik. Tapi, ya itu tadi. Harus nyaman! Kalau panas gini, aku ogah.”
Pedestrian yang asri? Wow, anganku langsung terbang ke jalan setapak di kiri- kanan jalan raya yang teduh oleh pepohonan nan rindang. Di setiap sudut perempatan, taman- taman mungil penuh bunga pasti melepas penat sambil berselanjar kaki di hamparan rumput hijau setelah capek berjalan.
“Oh iya, satu lagi yang harus dibenahi. Mental majikan dan semangat tempe bangsa kita. Selama itu masih ada, mau fasilitas bagus atau jelek, nggak bakal ada perubahan deh!”
“Oke Bos!”, sahut mbak itu. “Tapi pemerintah kudu punya perencanaan yang matang, dong, kalau mau bangun ini- itu. Jangan asal bongkar, gali sana- sini. Mana ngurugnya nggak rapi lagi. Bikin tambah macet dan becek juga kalau lagi musim ujan!”
“Jadi besok ngebus lagi, nih? Atau naik sepeda aja?” suara mas mahasiswa ditingkahi celoteh mbak mahasiswa makin sayup terdengar.
Bus kembali merayap begitu simpul- simpul macet terurai. Suara bising beradu sumpah serapah sopir yang saling berebut celah agar bisa jalan duluan. Tapi aku tak peduli. Indahnya miniatur “Desaku yang Permai” versi Bu Kasur di alam imajinasiku membuai dengan sapaan riang dan senyum ramah orang- orang yang saling berpapasan.
Sampai akhirnya....
“Mbak, bangun, Mbak! Sudah sampai terminal. Mbak turun mana?” satu suara sumbang mengagetkanku. Seketika suara asri buyar berganti pemandangan suram. Bapak- bapak di sebelahku tidak ada, mas dan mbak mahasiswa tadi juga lenyap. Kosong. Hanya ada aku. Sementara tepat di depanku, sopir, kenek, dan kondektur cengar- cengir menatapku.
Seketika aku terlonjak dari kursi, atau lebih tepatnya dari posisi tidur sambil duduk. Hah, ketiduran lagi?!
Aduh, kayaknya pelajar- pelajar seperti aku belum pantas menikmati fasilitas murah nan nyaman sebelum membenahi mental pemalas. Orang baru naik bus begini saja sering ketiduran.

Selasa, 21 Desember 2010

For My Mom

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal.
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa izin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka atau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.
Untuk semuanya....
Mari kita ucapkan kepada Ibu kita tercinta....
“Selamat Hari Ibu...”

Ujung Jalan

Emiria, mahasiswi keperawatan asal Indonesia yang tengah menempuh studi S2 di salah satu universitas di Belanda, kini tengah menempuh pendidikan profesinya di rumah sakit riset milik kampusnya. Emiria selalu memulai giliran jaganya dengan mengunjungi kamar-kamar di sayap kanan rumah sakit tempat ia menempuh pendidikan profesi. Itu adalah bangunan terpisah yang dikhususkan untuk merawat pasien-pasien AIDS stadium lanjut. Orang-orang berkulit seputih mayat dengan sariawan-sariawan yang tidak pernah sembuh. Emiria mendekap clipboard-nya kemudian mengetuk pintu pertama. Dia menarik napas.
Dua orang sedang berciuman. Keduanya laki-laki. Emiria menelan ludah susah payah, kemudian mengetuk pintu lagi sekedar untuk menyatakan kehadirannya. Keduanya memisahkan diri. Mereka adalah James dan Andre. James adalah pasien di rumah sakit ini. Sedangkan Andreas? (Emiria melirik sebentuk cincin di jari manis Andre, panggilan akrabnya) Ia adalah ‘suami’ James.
“Pagi, Suster Emiria.” Andre menarik kursi agak jauh dari tempat tidur. Dia sudah tahu persis apa yang akan dilakukan suster berjilbab itu dalam pemeriksaan rutin tiap paginya.
“Pagi, Andre. Bila kau tak keberatan, tolong buka tirainya. Kamar ini gelap sekali.” Emiria memberikan perintah tanpa menoleh pada Andre. Dia sedang membaca dengan serius laporan kesehatan James yang dituliskan oleh perawat jaga sebelumnya.
“ Bagaimana kabarmu hari ini, James?” tanya Emiria
“Aku merasa baik. Iya kan, Andre?”
Andre yang bersandar di jendela mengangguk. Dia berpaling pada Emiria.
“Dan bagaimana keadaan James menurutmu, suster Emiria?”
Emiria mengedikkan kepalanya. Dia menatap Andre penuh arti. Andre merasa ada yang tidak beres. Dia menyesal mengajukan pertanyaan itu karena James sekarang sedang menunggu jawabannya.
“Baik, James. Sebentar lagi dokter Tommy akan ke sini, memeriksa keadaanmu lebih lanjut, dan kamu akan tahu bagaimana keadaaanmu sebenarnya.” jawab Emiria sambil memalingkan pandangannya dari Andre yang kini beralih kepada pasiennya.
“Selamat pagi...” terdengar suara orang datang sambil mengetuk pintu. Dokter Tommy yang akan memeriksa James telah datang.
“Pagi Dok...” Emiria menjawab seraya mempersilahkan dokter Tommy mendekati James.
“Bagaimana kabarmu hari ini, James?” tanya dokter Tommy. Dia mengisyaratkan agar James membuka mulut. Dokter Tommy mengeluarkan senter kecil dari sakunya, dia sedikit mengernyit ketika menemukan ada bercak- bercak putih di gusi yang memerah seperti terbakar.
“Baik, James. Kurasa setelah sarapan, kau harus berpuasa. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan sore nanti. Rontgen dan CT-Scan. Bagaimana ?”
James memandang Andre, bingung. Rona wajah yang tersisa kini hilang sama sekali dari kulitnya yang pucat kekuningan. Andre menghampiri tempat tidur. Dia memeluk James yang mulai menangis.
“ Apakah aku akan mati Dokter? Suster?”
Dokter Tommy hanya tersenyum. Emiria pun berusaha untuk tersennyum. Bibirnya menarik garis seperti karet yang direnggangkan dengan susah payah.
“Bahkan aku akan mati, James. Ini hanya masalah waktu.” Emiria masih menarik ujung bibirnya selama mungkin.
James dan Andre terdiam. Mereka meresapi kata-kata Emiria barusan. Kemudian James kembali menangis dalam dekapan Andre.
“Baik Suster Emiria, bantu James mempersiapkan test rontgen dan CT-Scan-nya. Saya periksa pasien di kamar sebelah dulu. Permisi Sus...” dokter Tommy meninggalkan kamar James.
“Iya Dok..” Emiria kembali mendekati James sambil terus menulis laporan kesehatan James sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Tommy, kemudian menjelaskan kepada James tentang pemeriksaan yang akan dijalaninya.
***
Salju tebal melapisi lapangan rumput di luar jendela kafetaria yang masih lengang karena ini belum jam makan siang. Di salah satu pojok ada dua orang yang sudah tenggelam dalam sunyi.
“Pneumocystis carinii, apa maksudnya itu Sus?” Andre bertanya.
Emiria menarik napas panjang sebelum menjawab, “Itu adalah pneumonia yang disebabkan oleh jamur. Aku tahu dari hasil pemeriksaan dokter Tommy tadi. Bercak bercak putih di gusi itulah gejalanya.” Emiria memandang Andre dan berkata serius, “Ini menular. Kau harus meminum antibiotik yang dokter berikan padamu.”
“Berarti tidak parah, bukan? Aku hanya perlu meminum antibiotik.”
Emiria menggeleng, “Tidak bagi James. Ini adalah penyebab kematian terbesar dalam kasus AIDS.” Andre tersentak. Dia menegakkan kepalanya dan menatap Emiria dengan mata melebar.
“James mengalami masa tanpa gejala yang sangat singkat. Hanya perlu dua tahun seingatku. Dokter mengira sejak dulu ada masalah dengan sistem kekebalan tubuhnya.” Emiria menghela napas.
Sepasang mata hijau Andre berkaca- kaca, “Rasanya menyakitkan melihatnya tergolek lemah seperti itu. Pucat, tulang berbalut kulit. Padahal dulu dia adalah orang yang berwarna yang sangat hidup.”
Ketika mendengar kata ‘berwarna’, yang ada di kepala Emiria adalah pengalaman yang menyambutnya ketika pertama kali di Belanda. Suatu senja menjelang tahun baru di taman kota, Emiria menyaksikan untuk pertama kali dalam hidupnya, dua orang laki-laki berciuman di bawah terangnya lampu taman. Laki- laki yang keduanya sama- sama berambut biru. Saat itu, perut Emiria mual dan dia betul-betul muntah di wastafel kamar mandi umum terdekat. Emiria tidak dapat terus-terusan muntah setiap kali menyaksikan adegan itu kembali. Dia ada di Belanda sekarang, salah satu tempat di muka bumi yang melegalkan pernikahan sejenis. Dia bekerja di rumah sakit yang memiliki instalasi khusus perawatan AIDS. Dan kebanyakan penghuninya adalah pelaku hubungan sejenis.
Emiria teringat masa-masa ketika menempuh studi S1-nya di Indonesia. Sebulan lamanya dia menempuh mata kuliah khusus yang membahas asuhan keperawatan untuk pasien yang terinfeksi HIV/AIDS. Kengerian yang dulu ia bayangkan ketika masih belajar, kini harus ia hadapi. Bahkan lebih dari apa yang ia bayangkan. Emiria teringat kata-kata salah satu dosen anatominya yang selalu membimbing saat praktikum dengan mayat atau cadaver istilah kerennya, “Cadaver itulah dosen kamu yang sebenarnya di sini. Kamu akan dapat banyak ilmu darinya. Kamu akan tahu bagimana tubuh manusia sebenarnya, tidak hanya dari luar. Dan nantinya, ketika kamu sudah menempuh profesi, dosen kamu adalah pasien yang kamu tangani. Darinya kamu akan tahu berbagai permasalahan dan ilmumu akan semakin bermanfaat.” Ya pasien adalah dosen yang sebenarnya.
***
James mulai demam tiap malamnya. Dia pun kesulitan bernapas. Napasnya hanya berupa tarikan- tarikan pendek. Napas dangkal istilahnya. James tidak lagi dapat tidur dengan nyenyak di malam hari karena batuk yang terus menerus. Oleh karena itu, di bawah matanya lingkaran- lingkaran hitam menjadi tampak sangat jelas.
Terkadang di tengah malam, ketika lampu telah dipadamkan, Andre terjaga. Dia memandangi wajah James dengan cahaya lampu meja di sebelah tempat tidur. Dia mengamati tulang pipi bertonjolan di wajah James yang sama sekali tidak indah. Kulit pucat dengan mengerikan tertarik ke segala sisi karena begitu tipis lapisan lemak di bawahnya. Dia benar- benar tampak seperti kematian itu sendiri, batin Andre. Dia dikutuk.dan pada gilirannya aku pun mungkin akan mengalaminya. Dia dikutuk karena menentang hukum alam. Sering di bawah sadar, kata-kata itu yang bergaung. Bila keraguan mulai mencengkeram dadanya dan kebimbangan mulai menyelimuti, Andre hanya dapat mengulang-ulang sumpah pernikahannya. Aku mencintai James. Aku mencintai James.
“ Kopi, Andre?” suster Emiria menyodorkan gelas styrofoam padanya. Andre menyambut gelas itu dengan senang hati. Dia tersenyum pada Emiria. Perawat yang sangat berdedikasi, pikirnya. Begitu perhatian pada setiap pasien dan mendampingi keluarganya pada masa- masa sulit. Begitupula pada James.
Mereka berdiri di depan ruang isolasi. Di balik kaca, mereka dapat melihat James yang tampak menyedihkan dengan banyak selang seperti spagheti yang dipasang di seluruh tubuhnya. Alat monitor jantung berkedip-kedip dengan sinar hijau menandakan setidaknya sosok yang terbaring di sana masih hidup.
“Hanya soal waktu, bukan?”, Andre mendesah. Tifani merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
“Setiap orang harus belajar untuk merelakan. Apa-apa yang kita cintai sekarang tidak akan kekal. Kapan dia akan diambil, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Serahkan saja pada Tuhan.”
Andre menatap Emiria. Dia tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa. Andre tidak mungkin berkata bahwa terkadang dia tidak begitu yakin Tuhan itu ada. Jelas itu tidak pantas diucapkan sekarang. Setelah dia melihat banyak kematian di tempat ini, Andre tidak mungkin berkata bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain itu, dia sangat menghormati wanita konservatif di sebelahnya. Wanita yang begitu konservatifnya menghalangi semua akses yang memungkinkan kecantikannya terlihat.
Emiria Kamal. Andre pernah berlaku tidak adil padanya. Pada masa awal perawatan James, Emiria Kamal-lah yang menjadi penanggung jawab. Andre berulang kali mengajukan keberatan kepada kepala rumah sakit. Dia tidak ingin James dirawat oleh seorang fundamentalis yang beranggapan bahwa orang-orang seperti dirinya dan James pantas dibunuh dengan dijatuhkan dari menara tinggi.
Namun semua keluhan, cacian, dan komentar pedas Andre berhenti ketika dia melihat dari balik pintu, Emiria yang membersihkan muntahan James. Saat itu malam natal dan kebanyakan staf rumah sakit libur. Emiria, perawat yang dengan sabar membersihkan wajah dan tubuh James sambil membisikkan sesuatu yang membuat James tersenyum.
Andre menunduk sedikit. Dia berkata pelan pada Emiria, “Terima kasih telah ada bersamaku.”
***
Emiria mengguncang-guncang bahu Andre yang tertidur di sofa ruang tunggu. Saat itu pukul tiga pagi. Andre membuka matanya dan melihat wajah Emiria yang tegang. Dia langsung bangkit tanpa ada sepatah kata yang sempat diucapkan. Emiria tahu, begitu melihat mimik wajahnya, Andre pasti dapat menyimpulkan.
Andre berlari mendahului Emiria. Suara langkah kakinya berdentam- dentam sepanjang lorong. Emiria mengikuti dengan susah payah di belakangnya. Tiba-tiba Andre berhenti, beberapa meter dari pintu ruang isolasi. Dia menoleh ke belakang menunggu Emiria.
Di depan pintu, dua dokter berdiri kaku dan melirik gugup pada Emiria. Salah satunya adalah dokter Tommy. Dia paham, mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan kematian. Kematian mengerikan yang menyambutnya di balik pintu yang terbuka di depannya. Andre langsung menyerbu masuk, diikuti Emiria dan dokter Tommy beserta rekannya. Mata James terbelalak dengan mulut sedikit terbuka. Dia melihat seperti orang yang mati tercekik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang mencekiknya. Andre berpaling dari pemandangan yang mengerikan itu. Emiria mendekat ke sisi lain tempat tidur. Dia menutupkan telapaknya ke sepasang mata James yang terbuka. Andre hanya mengawasinya dalam diam.
***
Sesudah pemakaman James, Andre kerap kali duduk membisu di kafe yang terletak di ujung jalan dekat pemakan. Matanya senantiasa menatap area gundukan tanah yang menyimpan jasad James. Tidak ada yang tahu, apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Suatu kali Emiria menemukannya di tempat itu, tapi mulutnya bungkam terkunci.
***

Selepas Kau Pergi

Selepas Kau Pergi
Tifani Kamil, mahasiswi keperawatan yang tengah menempuh S2 di salah satu universitas di Belanda, kini tengah menempuh pendidikan profesinya untuk memperoleh gelar Magister Nurse di rumah sakit riset milik kampusnya. Tifani selalu memulai giliran jaganya dengan mengunjungi kamar- kamar di sayap kanan rumah sakit tempat ia menempuh pendidikan profesi. Itu adalah bangunan terpisah yang dikhususkan untuk merawat pasien- pasien AIDS stadium lanjut. Orang- orang berkulit seputih mayat dengan sariawan- sariawan yang tidak pernah sembuh. Tifani mendekap clipboard-nya kemudian mengetuk pintu pertama. Dia menarik napas.
Dua orang sedang berciuman. Keduanya laki- laki. Tifani menelan ludah susah payah, kemudian mengetuk pintu lagi sekedar untuk menyatakan kehadirannya. Keduanya memisahkan diri. Mereka adalah Jhon dan Andre. Jhony adalah pasien di rumah sakit ini. Sedangkan Andreas adalah... Tifani melirik sebentuk cincin di jari manis Andre. Andreas adalah ‘suami’ Jhon.
“Pagi, Suster Fani.” Andre menarik kursi agak jauh dari tempat tidur. Dia sudah tahu persis apa yang akan dilakukan suster berjilbab itu dalam pemeriksaan rutin tiap paginya.
“Pagi, Andre. Bila kau tak keberatan, tolong buka tirainya. Kamar ini gelap sekali.” Tifani memberikan perintah tanpa menoleh pada Andre. Dia sedang membaca dengan serius laporan kesehatan Jhon yang dituliskan oleh perawat jaga sebelumnya.
“ Bagaimana kabarmu hari ini, Jhon?” tanya Tifani
“Aku merasa baik. Iya kan, Andre?”, Andre yang bersandar di jendela mengangguk. Dia berpaling pada Tifani.
“ Dan bagaimana keadaan Jhon menurutmu, suster Fani?”, Tifani mengedikkan kepalanya. Dia menatap Andre penuh arti. Andre merasa ada yang tidak beres. Dia menyesal mengajukan pertanyaan itu karena Jhon sekarang sedang menunggu jawabannya.
“Baik, Jhon. Sebentar lagi dokter Tommy akan ke sini, memeriksa keadaanmu lebih lanjut, dan kamu akan tahu bagaimana keadaaanmu sebenarnya.”, jawab Tifani sambil memalingkan pandangannya dari Andre yang kini beralih kepada pasiennya.
“ Selamat pagi...”, terdengar suara orang datang sambil mengetuk pintu. Dokter Tommy yang akan memeriksa Jhon telah datang.
“ Pagi Dok...”, Tifani menjawab seraya mempersilahkan dokter Tommy mendekati Jhony.
“ Bagaimana kabarmu hari ini Jhon?”, tanya dokter Tommy. Dia mengisyaratkan agar Jhon membuka mulut . Dokter Tommy mengeluarkan senter kecil dari sakunya, dia sedikit mengernyit ketika menemukan ada bercak- bercak putih di gusi yang memerah seperti terbakar.
“ Baik, Jhon. Kurasa setelah sarapan, kau harus berpuasa. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan sore nanti. Rontgen dan CT-Scan. Bagaimana ?”
Jhon memandang Andre, bingung. Rona wajah yang tersisa kini hilang sama sekali dari kulitnya yang pucat kekuningan. Andre menghampiri tempat tidur. Dia memeluk Jhon yang mulai menangis.
“ Apakah aku akan mati Dokter? Suster?”
Dokter Tommy hanya tersenyum. Tifani pun berusaha untuk tersennyum. Bibirnya menarik garis seperti karet yang direnggangkan dengan susah payah.
“ Bahkan aku akan mati, Jhon. Ini hanya masalah waktu.”, Tifani masih menarik ujung bibirnya selama mungkin.
Jhon dan Andre terdiam. Mereka meresapi kata- kata Tifani barusan. Kemudian Jhon kembali menangis dalam dekapan Andre.
“ Baik Suster Fani, bantu Jhon mempersiapkan test rontgen dan CT-Scan-nya. Saya periksa pasien di kamar sebelah dulu. Permisi Sus...”, dokter Eko meninggalkan kamar Jhon.
“ Iya Dok..”, Tifani kembali mendekati Jhon sambil terus menulis laporan kesehatan Jhon sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Tommy, kemudian menjelaskan kepada Jhon tentang pemeriksaan yang akan dijalaninya.
Salju tebal melapisi lapangan rumput di luar jendela kafetaria yang masih lengang karena ini belum jam makan siang. Di salah satu pojok ada dua orang yang sudah tenggelam dalam sunyi.
“ Pneumocystis carinii, apa maksudnya itu Sus?”, Andre bertanya.
Tifani menarik napas panjang sebelum menjawab, “Itu adalah pneumonia yang disebabkan oleh jamur. Aku tahu dari hasil pemeriksaan dokter Tommy tadi. Bercak- bercak putih di gusi itulah gejalanya.” Tifani memandang Andre dan berkata serius, “ Ini menular. Kau harus meminum antibiotik yang dokter berikan padamu.”
“ Berarti tidak parah, bukan? Aku hanya perlu meminum antibiotik.”
Tifani menggeleng, “Tidak bagi Jhon. Ini adalah penyebab kematian terbesar dalam kasus AIDS.” Andre tersentak. Dia menegakkan kepalanya dan menatap Tifani dengan mata melebar.
“ Jhon mengalami masa tanpa gejala yang sangat singkat. Hanya perlu dua tahun seingatku. Dokter mengira sejak dulu ada masalah dengan sistem kekebalan tubuhnya.”, Tifani menghela napas.
Sepasang mata hijau Andre berkaca- kaca, “Rasanya menyakitkan melihatnya tergolek lemah seperti itu. Pucat, tulang berbalut kulit. Padahal dulu dia aalah orang yang berwarna yang sangat hidup.”
Ketika mendengar kata ‘berwarna’, yang ada di kepala Tifani adalah pengalaman yang menyambutnya ketika pertama kali di Belanda. Suatu senja menjelang tahun baru di taman kota, Tifani menyaksikan untuk pertama kali dalam hidupnya, dua orang laki- laki berciuman di bawah terangnya lampu taman. Laki- laki yang keduanya sama- sama berambut biru. Saat itu, perut Tifani mual dan dia betul- betul muntah di wastafel kamar mandi umum terdekat. Tifani tidak dapat terus- terusan muntah setiap kali menyaksikan adegan itu kembali. Dia ada di Belanda sekarang, salah satu tempat di muka bumi yang melegalkan pernikahan sejenis. Dia bekerja di rumah sakit yang memiliki instalasi khusus perawatan AIDS. Dan kebanyakan penghuninya memiliki permasalahan seksual.
Tifani teringat masa- masa ketika menempuh studi S1-nya di Indonesia. Sebulan lamanya dia menempuh mata kuliah khusus yang membahas asuhan keperawatan untuk pasien yang terinfeksi HIV/ AIDS. Kengerian yang dulu ia bayangkan ketika masih belajar, kini harus ia hadapi. Bahkan lebih dari apa yang ia bayangkan. Benar kata salah satu dosen anatominya yang selalu membimbing saat praktikum dengan mayat atau cadaver istilah kerennya, “ Cadaver itulah dosen kamu yang sebenarnya di sini. Kamu akan dapat banyak ilmu darinya. Kamu akan tahu bagimana tubuh manusia sebenarnya, tidak hanya dari luar. Dan nantinya, ketika kamu sudah menempuh profesi, dosen kamu adalah pasien yang kamu tangani. Darinya kamu akan tahu berbagai permasalahan dan ilmumu akan semakin bermanfaat.”
***
Jhon mulai demam tiap malamnya. Dia pun kesulitan bernapas. Napasnya hanya berupa tarikan- tarikan pendek. Napas dangkal istilahnya. Jhon tidak lagi dapt tidur dengan nyenyak di malam hari karena batuk yang terus menerus. Oleh karena itu, di bawah matanya lingkaran- lingkaran hitam menjadi tampak sangat jelas.
Terkadang di tengah malam, ketika lampu telah dipadamkan, Andre terjaga. Dia memandangi wajah Jhon dengan cahaya lampu meja di sebelah tempat tidur. Dia mengamati tulang pipi bertonjolan di wajah Jhon yang sama sekali tidak indah. Kulit pucat dengan mengerikan tertarik ke segala sisi karena begitu tipis lapisan lemak di bawahnya. Dia benar- benar tampak seperti kematian itu sendiri, batin Andre. Dia dikutuk.dan pada gilirannya aku pun mungkin akan mengalaminya. Dia dikutuk karena menentang hukum alam. Sering di bawah sadar, kata- kata itu yang bergaung. Bila keraguan mulai mencengkeram dadanya dan kebimbangan mulai menyelimuti, Andre hamya dapat mengulang – ulang sumpah pernikahannya. Aku mencintai Jhon. Aku mencintai Jhon.
“ Kopi, Andre?” suster Tifani menyodorkan gelas styrofoam padanya. Andre menyambut gelas itu dengan senang hati. Dia tersenyum pada Tifani. Perawat yang sangat berdedikasi, pikirnya. Begitu perhatian pada setiap pasien dan mendampingi keluarganya pada masa- masa sulit.
Mereka berdiri di depan ruang isolasi. Di balik kaca, mereka dapat melihat Jhon yang tampak menyedihkan dengan banyak selang seperti spagheti yang dipasang di seluruh tubuhnya. Alat monitor jantung berkedip- kedip dengan sinar hijau menandakan setidaknya sosok yang terbaring di sana masih hidup.
“ Hanya soal waktu, bukan?”, Andre mendesah. Tifani merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
“ Setiap orang harus belajar untuk merelakan. Apa- apa yang kita cintai sekarang tidak akan kekal. Kapan dia akan diambil, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Serahkan saja pada Tuhan.”
Andre menatap Tifani. Dia tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa. Andre tidak mungkin berkata bahwa terkadang dia tidak begitu yakin Tuhan itu ada. Jelas itu tidak pantas diucapkan sekarang. Setelah dia melihat banyak kematian di tempat ini, Andre tidak mungkin berkata bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain itu, dia sangat menghormati wanita konservatif di sebelahnya. Wanita yang begitu konservatifnya menghalangi semua akses yang memungkinkan kecantikannya terlihat.
Tifani Kamil. Andre pernah berlaku tidak adil padanya. Pada masa awal perawatan Jhon, Tifani Kamil-lah yang menjadi penanggung jawab. Andre berulang kali mengajukan keberatan kepada kepala rumah sakit. Dia tidak ingin Jhon dirawat oleh seorang fundamentalis yang beranggapan bahwa orang- orang seperti dirinya dan Jhon pantas dibunuh dengan dijatuhkan dari menara tinggi.
Namun semua keluhan, cacian, dan komentar pedas Andre berhenti ketika dia melihat dari balik pintu, Tifani yang membersihkan muntahan Jhon. Saat itu malam natal dan kebanyakan staf rumah sakit libur. Tifani, perawat yang dengan sabar membersihkan wajah dan tubuh Jhon sambil membisikkan sesuatu yang membuat Jhon tersenyum.
Andre menunduk sedikit. Dia berkata pelan pada Tifani, “ Terima kasih telah ada bersamaku.”
Tifani mengguncang- guncang bahu Andre yang tertidur di sofa ruang tunggu. Saat itu pukul tiga pagi. Andre membuka matanya dan melihat wajah Tifani yang tegang. Dia langsung bangkit tanpa ada sepatah kata yang sempat diucapkan. Tifani tahu, begitu melihat mimik wajahnya, Andre pasti dapat menyimpulkan.
Andre berlari mendahului Tifani. Suara langkah kakinya berdentam- dentam sepanjang lorong. Tifani mengikuti dengan susah payah di belakangnya. Tiba- tiba Andre berhenti, beberapa meter dari pintu ruang isolasi. Dia menoleh ke belakang menunggu Tifani.
Di depan pintu, dua dokter berdiri kaku dan melirik gugup pada Tifani. Salah satunya adalah dokter Tommy. Dia paham, mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan kematian. Kematian mengerikan yang menyambutnya di balik pintu yang terbuka di depannya. Andre langsung menyerbu masuk, diikuti Tifani dan dokter Tommy beserta rekannya. Mata Jhon terbelalak dengan mulut sedikit terbuka. Dia melihat seperti orang yang mati tercekik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang mencekiknya. Andre berpaling dari pemandangan yang mengerikan itu. Tifani mendekat ke sisi lain tempat tidur. Dia menutupkan telapaknya ke sepasang mata Jhon yang terbuka. Andre hanya mengawasinya dalam diam.
***
Jhon disemayamkan di kediaman Andre, sebuah rumah bergaya Victoria dengan ruang tamu yang sangat besar. Di sanalah Jhon berbaring dalam peti kayunya yang mewah. Jhon dibaringkan pada bantal sutera bersulamkan mawar putih, persis dengan mawar yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Tangannya bersedekap. Jhon tampak sangat tampan setelah para perias dari rumah duka meriasnya. Andre berterima kasih padanya. Dia tidak dapat membayangkan apa komentar para pelayat bila melihat Jhon dengan raut menakutkan yang disaksikannya pada malam kematiannya.
Tak berapa lama, Tifani Kamil datang didampingi oleh seorang wanita yang juga berhijab, yang tidak lain adalah istri dokter Tommy. Kebanyakan pelayat yang merupakan pasangan sejenis itu menoleh pada dua orang berhijab yang baru memasuki ruang tamu. Andre merasakan pandangan menghakimi dari teman- temannya. Dia pun menghampiri keduanya.
“Tifani, senang kau dapat datang.”
Tifani mengangguk dan tersenyum. Dia mengenalkan Naurinnisa, istri dokter Tommy, yang menemaninya pada Andre. Tifani, Naurinnisa, dan Andre menuju peti Jhony. Tifani tidak melongok ke dalam peti. Pandangannya terpaku pada foto Jhony yang dipasang di depan peti. Andre ikut menatap foto itu.
“Dia terlihat sangat hidup ya?”
Tifani mengangguk pelan. Namun ada sesuatu yang lain dalam pikirannya. Andre dapat membaca kebingungan Tifani.
“Ada apa?”, tanya Andre.
“Kapan foto itu diambil, Andre?”, Tifani tampak tegang.
“Tiga tahun yang lalu. Ada yang salah?”
Tifani mengangguk pelan wlau tidak menjawab apapun.
“Temui dokter Tommy di rumah sakit, sesegera mungkin. Kau harus melakukan tes HIV. Itu pesan dokter Tommy.” Andre mengernyit
“Untuk apa? Kalaupun hasilnya positif...aku sudah menduganya.”
Tifani menggeleng cepat.
“jangan keras kepala. Temui dokter Tommy besok Senin.’, Tifani berkata tegas. Dia mendelik pada pasangan gay yang dari tadi memperhatikannya dengan pandangan tidak sopan, “Apa yang sedang kalian lihat?”.
***
Amplop putih tergeletak membisu di antara dua cangkir kopi yang mengepul di atas taplak meja kotak- kotak merah. Untuk kesekian kalinya Andre dan Tifani duduk di tempat yang sama di sudut kafetaria rumah sakit.
Andre meraih amplop itu. Sesungguhnya dia tidak khawatir terhadap huruf- huruf yang tereja di dalamnya. Namun, mau tidak mau dia pun merasa sedikit gugup. Amplop itu dibuka dengan pisau roti di sampingnya. Pinggirannya terobek tidak rata. Andre membuka lipatan kertas pelan- pelan. Tifani mengawasinya. Andre tidak membaca paragraf pengantar, matanya langsung menuju pada tulisan kecil dengan cetak tebal di bagian bawah.
“Negatif,” kata Tifani pendek.
Andre menggedikkan bahunya.
“Kami melakukan seks aman.”
“Bukan itu poin yang kumaksudkan,” Tifani mengaduk isi tasnya. Dia mengambil map putih dari dalamnya.
“Andre, aku tidak pernah bertanya ini padamu sebelumnya, seperti apa yang pernah kamu teriakkan padaku pada awal- awal pertemuan kita di rumah sakit. Aku memang seorang wanita konservativ tradisional.”
“Dan?”, Andre menunggu.
Tifani menarik napas pamjang.
“Aku tahu, mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.”
“Kecuali bila aku menjadi pasien di sayap kanan.”, Andre tersenyum.
“Andre, kepercayaan yang kuanut menyuruhku untuk membimbing orang yang tersesat ke jalan yang benar..”, Tifani mengambil jeda. Andre mengangkat alisnya tinggi, dia sedang menerka ke mana arah pembicaraan mereka.
“Kau tahu, Andre, sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pilihan yang kau buat bersama Jhony. Dan aku masih tidak setuju sampai sekarang. Sebelum aku bicara lebih lanjut, aku hanya ingin bertanya apa yang membuatmu untuk memilih jalan itu?”.
Andre tersenyum. Itu adalah pertanyaan tipikal yang telah dijawabnya ratusan kali.
“Kenapa aku menjadi gay?”, Andre menyimpulkan pertanyaan Tifani. Tifani mengangguk.
“Pada sebuah titik aku mati rasa terhadap wanita. Itu karena kurasa aku butuh sesuatu yang lain.”, Andre menerawangkan pandangannya ke halaman luar.
“Pada titik apa?”
“Apakah itu relevan?, Andre mulai agak terganggu. Tifani mengangguk. Andre menghirup kopinya sebelum bicara lagi.
“Titik di mana...wanita sudah tidak tampak menggiurkan lagi. Titik di mana Allice, kekasihku sebelum Jhony, kupergoki berselingkuh di kamar tidur apartemen kami. Kukira aku trauma. Ya, aku trauma terhadap penghianatannya. Aku mencoba lagi berhubungan dengan beberapa wanita, tapi tidak berhasil. Mereka tampak begitu menjijikkan bagiku. Sampai akhirnya aku bertemu Jhony.” Raut wajah Andre melembut ketika mengucapkan nama itu.
“Jhony adalah belahan jiwaku. Dia yang begitu setia. Kau tahu, kan? Aku sering bepergian. Dia melengkapi apa yang tidak dapat diberikan oleh siapapun.”
“Apakah kau benar- benar ‘terhubung’?Physically? Apakah ini yang betul- betul kau inginkan?”
Andre tertawa. “Phisically? Kau lucu sekali, suster Tifani. Tentu saja kami tidak ‘terhubung’. Kami tidak diciptakan untuk itu.’, Andre masih tertawa. Ketika tawanya mulai meredam dia pun merenung. “ Kau ingin menyadarkanku bahwa perbuatanku salah, suster Tifani? Bahwa aku menentang hukum alam?”
“Entahlah, Andre. Aku hanya ingin meyakini bahwa hubungan yang kalian jalani tidak wajar. Itu telah salah dari awalnya dan tidak mungkin bertahan.”
“Kenapa kau mengatakan ini padaku? Apa gunanya?”, tanyanya dengan suara bergetar.
Tifani kelihatan sangat tenang menghadapinya.
“Seperti yang kukatakan di awal, Andre. Akau hanya ingin meyakinkanmu bahwa hubungan seperti itu tidak akan berhasil. Sejak awal kalian sudah tidak ‘terhubung’. Apapun yang kau rasakan, Andre, sepertinya Jhony tidak merasakan hal yang sama.”
Andre menatapnya dengan marah, “Aku benci wanita.”
Tifani tidak terkejut, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa dia terluka. Namun Tifani tetap tersenyum dan mencoba memahami hancurnya perasaan Andre. “Baiklah, Andre. Aku tidak akan menarik apa yang telah aku sampaikan padamu.” Dia bangkit dari kursi, “ Andre, selalu ada jalan pertobatan atas dosa- dosa masa lalu, yang perlu kau lakukan hanyalah mencobanya.” Tifani berusaha mohon diri. Dia mengucap salam yang diacuhkan oleh Andre.
***
Dua hari kemudian, Andre kembali ke kafetaria rumah sakit setelah mengambil beberapa barang milik Jhony yang masih tertinggal. Andre membungkuk di depan etalase yang memajang kue pengantin indah dengan sepasang boneka kecil di atasnya. Sepasang. Andre berpikir miris. Ia ingat betapa sulit mencari hiasan kue pernikahannya dengan Jhony lima tahun yang lalu. Kebanyakan hiasan menampilkan sepasang pengantin, mempelai wanita dan laki- laki.
Tanpa sadar, Andre memutar- mutar cincin di jari manisnya. Cincin pengikat janji. Janji apa? Dadanya kembali sesak dengan perasaan marah. Dia marah kepada Tifani. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia marah kepada Tuhan yang mematikan hasratnya kepada wanita. Saat ini dia berani menukar dengan apapun asal dia bisa kembali normal, merasakan lezatnya wanita- wanita di luar sana.
Dia memperhatikan boneka mempelai wanita yang mungil dengan gaun putih. Andre pun tersenyum. Itulah perwujudan wanita yang seharusnya. Bersih dalam gaun putih. Belum terjamah sampai akhirnya kerudung rendanya dibuka di hadapan pendeta. Tiba- tiba dia membayangkan Tifani. Andre bertanya- tanya, apa warna rambut Tifani di balik kerudungnya. Pirangkah? Sehitam malam? Atau merah seperti gadis Perancis? Dia kemudian membayangkan senyumnya yang feminin. Suaranya yang halus ketika menyebut namanya...
“Andre.”
Dadanya bergemuruh. Dia sudah kembali dapat menghayalkan wanita.
“Andre?”
Tifani memang sedang berdiri di sebelah dan memanggil namanya. Andre memasukkan tangannya ke dalam saku dan menegakkan punggungnya. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan Tifani baik- baik. Wajahnya yang putih dengan pipi bersemu merah tanpa makeup. Matanya yang cokelat dan lebar dengan bulu mata tebal dan lentik.
“Apa yang kau lihat?” tegurnya dengan galak.
Andre mengangkat bahu dan menyeringat. Di dalam saku, jemari tangan Andre berusaha melepaskan cincin emas yang dingin dari jari manisnya, dan akhirnya cincin itu pun lepas dengan mudah.

Kamis, 16 Desember 2010

"Selepas Jhon Pergi"


            Tifani Kamil, mahasiswi keperawatan asal Indonesia yang tengah menempuh studi S2 di salah satu universitas di Belanda, kini tengah menempuh pendidikan profesinya untuk memperoleh gelar Magister Nurse di rumah sakit riset milik kampusnya. Tifani selalu memulai giliran jaganya dengan mengunjungi kamar- kamar di sayap kanan rumah sakit tempat ia menempuh pendidikan profesi. Itu adalah bangunan terpisah yang dikhususkan untuk merawat pasien- pasien AIDS stadium lanjut. Orang- orang berkulit seputih mayat dengan sariawan- sariawan yang tidak pernah sembuh. Tifani mendekap clipboard-nya kemudian mengetuk pintu pertama. Dia menarik napas.
            Dua orang sedang berciuman. Keduanya laki- laki. Tifani menelan ludah susah payah, kemudian mengetuk pintu lagi sekedar untuk menyatakan kehadirannya. Keduanya memisahkan diri. Mereka adalah Jhon dan Andre. Jhony adalah pasien di rumah sakit ini. Sedangkan Andreas adalah... Tifani melirik sebentuk cincin di jari manis Andre, panggilan akrabnya. Andreas adalah ‘suami’ Jhon.
            “Pagi, Suster Fani.” Andre menarik kursi agak jauh dari tempat tidur. Dia sudah tahu persis apa yang akan dilakukan suster berjilbab itu dalam pemeriksaan rutin tiap paginya.
            “Pagi, Andre. Bila kau tak keberatan, tolong buka tirainya. Kamar ini gelap sekali.” Tifani memberikan perintah tanpa menoleh pada Andre. Dia sedang membaca dengan serius laporan kesehatan Jhon yang dituliskan oleh perawat jaga sebelumnya.
            “ Bagaimana kabarmu hari ini, Jhon?” tanya Tifani
            “Aku merasa baik. Iya kan, Andre?”, Andre yang bersandar di jendela mengangguk. Dia berpaling pada Tifani.
            “ Dan bagaimana keadaan Jhon menurutmu, suster Fani?”, Tifani mengedikkan kepalanya. Dia menatap Andre penuh arti. Andre merasa ada yang tidak beres. Dia menyesal mengajukan pertanyaan itu karena Jhon sekarang sedang menunggu jawabannya.
            “Baik, Jhon. Sebentar lagi dokter Tommy akan ke sini, memeriksa keadaanmu lebih lanjut, dan kamu akan tahu bagaimana keadaaanmu sebenarnya.”, jawab Tifani sambil memalingkan pandangannya dari Andre yang kini beralih kepada pasiennya.
            “ Selamat pagi...”, terdengar suara orang datang sambil mengetuk pintu. Dokter Tommy yang akan memeriksa Jhon telah datang.
            “ Pagi Dok...”, Tifani menjawab seraya mempersilahkan dokter Tommy mendekati Jhony.
            “ Bagaimana kabarmu hari ini Jhon?”, tanya dokter Tommy. Dia mengisyaratkan agar Jhon membuka mulut . Dokter Tommy mengeluarkan senter kecil dari sakunya, dia sedikit mengernyit ketika menemukan ada bercak- bercak putih di gusi yang memerah seperti terbakar.
            “ Baik, Jhon. Kurasa setelah sarapan, kau harus berpuasa. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan sore nanti. Rontgen dan CT-Scan. Bagaimana ?”
            Jhon memandang Andre, bingung. Rona wajah yang tersisa kini hilang sama sekali dari kulitnya yang pucat kekuningan. Andre menghampiri tempat tidur. Dia memeluk Jhon yang mulai menangis.
            “ Apakah aku akan mati Dokter? Suster?”
            Dokter Tommy hanya tersenyum. Tifani pun berusaha untuk tersennyum. Bibirnya menarik garis seperti karet yang direnggangkan dengan susah payah.
            “ Bahkan aku akan mati, Jhon. Ini hanya masalah waktu.”, Tifani masih menarik ujung bibirnya selama mungkin.
            Jhon dan Andre terdiam. Mereka meresapi kata- kata Tifani barusan. Kemudian Jhon kembali menangis dalam dekapan Andre.
            “ Baik Suster Fani, bantu Jhon mempersiapkan test rontgen dan CT-Scan-nya. Saya periksa pasien di  kamar sebelah dulu. Permisi Sus...”, dokter Tommy meninggalkan kamar Jhon.
            “ Iya Dok..”, Tifani kembali mendekati Jhon sambil terus menulis laporan kesehatan Jhon sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Tommy, kemudian menjelaskan kepada Jhon tentang pemeriksaan yang akan dijalaninya.
            Salju tebal melapisi lapangan rumput di luar jendela kafetaria yang masih lengang karena ini belum jam makan siang. Di salah satu pojok ada dua orang yang sudah tenggelam dalam sunyi.
            “ Pneumocystis carinii, apa maksudnya itu Sus?”, Andre bertanya.
            Tifani menarik napas panjang sebelum menjawab, “Itu adalah pneumonia yang disebabkan oleh jamur. Aku tahu dari hasil pemeriksaan  dokter Tommy tadi. Bercak- bercak putih di gusi itulah gejalanya.” Tifani memandang Andre dan berkata serius, “ Ini menular. Kau harus meminum antibiotik yang dokter berikan padamu.”
            “ Berarti tidak parah, bukan? Aku hanya perlu meminum antibiotik.”
            Tifani menggeleng, “Tidak bagi Jhon. Ini adalah penyebab kematian terbesar dalam kasus AIDS.” Andre tersentak. Dia menegakkan kepalanya dan menatap Tifani dengan mata melebar.
            “ Jhon mengalami masa tanpa gejala yang sangat singkat. Hanya perlu dua tahun seingatku. Dokter mengira sejak dulu ada masalah dengan sistem kekebalan tubuhnya.”, Tifani menghela napas.
            Sepasang mata hijau Andre berkaca- kaca, “Rasanya menyakitkan melihatnya tergolek lemah seperti itu. Pucat, tulang berbalut kulit. Padahal dulu dia adalah orang yang berwarna yang sangat hidup.”
            Ketika mendengar kata ‘berwarna’, yang ada di kepala Tifani adalah pengalaman yang menyambutnya ketika pertama kali di Belanda. Suatu senja menjelang tahun baru di taman kota, Tifani menyaksikan untuk pertama kali dalam hidupnya, dua orang laki- laki berciuman di bawah terangnya lampu taman. Laki- laki yang keduanya sama- sama berambut biru. Saat itu, perut Tifani mual dan dia betul- betul muntah di wastafel kamar mandi umum terdekat. Tifani tidak dapat terus- terusan muntah setiap kali menyaksikan adegan itu kembali. Dia ada di Belanda sekarang, salah satu tempat di muka bumi yang melegalkan pernikahan sejenis. Dia bekerja di rumah sakit yang memiliki instalasi khusus perawatan AIDS. Dan kebanyakan penghuninya adalah pelaku hubungan sejenis.
            Tifani teringat masa- masa ketika menempuh studi S1-nya di Indonesia. Sebulan lamanya dia menempuh mata kuliah khusus yang membahas asuhan keperawatan untuk pasien yang terinfeksi HIV/ AIDS. Kengerian yang dulu ia bayangkan ketika masih belajar, kini harus ia hadapi. Bahkan lebih dari apa yang ia bayangkan. Tifani teringat kata- kata salah satu dosen anatominya yang selalu membimbing saat praktikum dengan mayat atau cadaver istilah kerennya, “ Cadaver itulah dosen kamu yang sebenarnya di sini. Kamu akan dapat banyak ilmu darinya. Kamu akan tahu bagimana tubuh manusia sebenarnya, tidak hanya dari luar. Dan nantinya, ketika kamu sudah menempuh profesi, dosen kamu adalah pasien yang kamu tangani. Darinya kamu akan tahu berbagai permasalahan dan ilmumu akan semakin bermanfaat.” Ya pasien adalah dosen yang sebenarnya.
***
            Jhon mulai demam tiap malamnya. Dia pun kesulitan bernapas. Napasnya hanya berupa tarikan- tarikan pendek. Napas dangkal istilahnya. Jhon tidak lagi dapat tidur dengan nyenyak di malam hari karena batuk yang terus menerus. Oleh karena itu, di bawah matanya lingkaran- lingkaran hitam menjadi tampak sangat jelas.
            Terkadang di tengah malam, ketika lampu telah dipadamkan, Andre terjaga. Dia memandangi wajah Jhon dengan cahaya lampu meja di sebelah tempat tidur. Dia mengamati tulang pipi bertonjolan di wajah Jhon yang sama sekali tidak indah. Kulit pucat dengan mengerikan tertarik ke segala sisi karena begitu tipis lapisan lemak di bawahnya. Dia benar- benar tampak seperti kematian itu sendiri, batin Andre. Dia dikutuk.dan pada gilirannya aku pun mungkin akan mengalaminya. Dia dikutuk karena menentang hukum alam. Sering di bawah sadar, kata- kata itu yang bergaung. Bila keraguan mulai mencengkeram dadanya dan kebimbangan mulai menyelimuti, Andre hanya dapat mengulang – ulang sumpah pernikahannya. Aku mencintai Jhon. Aku mencintai Jhon.
            “ Kopi, Andre?” suster Tifani menyodorkan gelas styrofoam padanya. Andre menyambut gelas itu dengan senang hati. Dia tersenyum pada Tifani. Perawat yang sangat berdedikasi, pikirnya. Begitu perhatian pada setiap pasien dan mendampingi keluarganya pada masa- masa sulit. Begitupula pada Jhon.
            Mereka berdiri di depan ruang isolasi. Di balik kaca, mereka dapat melihat Jhon yang tampak menyedihkan dengan banyak selang seperti spagheti yang dipasang di seluruh tubuhnya. Alat monitor jantung berkedip- kedip dengan sinar hijau menandakan setidaknya sosok yang terbaring di sana masih hidup.
            “ Hanya soal waktu, bukan?”, Andre mendesah. Tifani merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
            “ Setiap orang harus belajar untuk merelakan. Apa- apa yang kita cintai sekarang tidak akan kekal. Kapan dia akan diambil, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Serahkan saja pada Tuhan.”
            Andre menatap Tifani. Dia tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa. Andre tidak mungkin berkata bahwa terkadang dia tidak begitu yakin Tuhan itu ada. Jelas itu tidak pantas diucapkan sekarang. Setelah dia melihat banyak kematian di tempat ini, Andre tidak mungkin berkata bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain itu, dia sangat menghormati wanita konservatif di sebelahnya. Wanita yang begitu konservatifnya menghalangi semua akses yang memungkinkan kecantikannya terlihat.
            Tifani Kamil. Andre pernah berlaku tidak adil padanya. Pada masa awal perawatan Jhon, Tifani Kamil-lah yang menjadi penanggung jawab. Andre berulang kali mengajukan keberatan kepada kepala rumah sakit. Dia tidak ingin Jhon dirawat oleh seorang fundamentalis yang beranggapan bahwa orang- orang seperti dirinya dan Jhon pantas dibunuh dengan dijatuhkan dari menara tinggi.
            Namun semua keluhan, cacian, dan komentar pedas Andre berhenti ketika dia melihat dari balik pintu, Tifani yang membersihkan muntahan Jhon. Saat itu malam natal dan kebanyakan staf rumah sakit libur. Tifani, perawat yang dengan sabar membersihkan wajah dan tubuh Jhon sambil membisikkan sesuatu yang membuat Jhon tersenyum.
            Andre menunduk sedikit. Dia berkata pelan pada Tifani, “ Terima kasih telah ada bersamaku.”
            Tifani mengguncang- guncang bahu Andre yang tertidur di sofa ruang tunggu. Saat itu pukul tiga pagi. Andre membuka matanya dan melihat wajah Tifani yang tegang. Dia langsung bangkit tanpa ada sepatah kata yang sempat diucapkan. Tifani tahu, begitu melihat mimik wajahnya, Andre pasti dapat menyimpulkan.
            Andre berlari mendahului Tifani. Suara langkah kakinya berdentam- dentam sepanjang lorong. Tifani mengikuti dengan susah payah di belakangnya. Tiba- tiba Andre berhenti, beberapa meter dari pintu ruang isolasi. Dia menoleh ke belakang menunggu Tifani.
            Di depan pintu, dua dokter berdiri kaku dan melirik gugup pada Tifani. Salah satunya adalah dokter Tommy. Dia paham, mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan kematian. Kematian mengerikan yang menyambutnya di balik pintu yang terbuka di depannya. Andre langsung menyerbu masuk, diikuti Tifani dan dokter Tommy beserta rekannya. Mata Jhon terbelalak dengan mulut sedikit terbuka. Dia melihat seperti orang yang mati tercekik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang mencekiknya. Andre berpaling dari pemandangan yang mengerikan itu. Tifani mendekat ke sisi lain tempat tidur. Dia menutupkan telapaknya ke sepasang mata Jhon yang terbuka. Andre hanya mengawasinya dalam diam.
***
            Jhon disemayamkan di kediaman Andre, sebuah rumah bergaya Victoria dengan ruang tamu yang sangat besar. Di sanalah Jhon berbaring dalam peti kayunya yang mewah. Jhon dibaringkan pada bantal sutera bersulamkan mawar putih, persis dengan mawar yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Tangannya bersedekap. Jhon tampak sangat tampan setelah para perias dari rumah duka meriasnya. Andre berterima kasih padanya. Dia tidak dapat membayangkan apa komentar para pelayat bila melihat Jhon dengan raut menakutkan yang disaksikannya pada malam kematiannya.
            Tak berapa lama, Tifani Kamil datang didampingi oleh seorang wanita yang juga berhijab, yang tidak lain adalah istri dokter Tommy. Kebanyakan pelayat yang merupakan pasangan sejenis itu menoleh pada dua orang berhijab yang baru memasuki ruang tamu. Andre merasakan pandangan menghakimi dari teman- temannya. Dia pun menghampiri keduanya.
            “Tifani, senang kau dapat datang.”
            Tifani mengangguk dan tersenyum. Dia mengenalkan Naurinnisa, istri dokter Tommy, yang menemaninya pada Andre. Tifani, Naurinnisa, dan Andre menuju peti Jhony. Tifani tidak melongok ke dalam peti. Pandangannya terpaku pada foto Jhony yang dipasang di depan peti. Andre ikut menatap foto itu.
            “Dia terlihat sangat hidup ya?”
            Tifani mengangguk pelan. Namun ada sesuatu yang lain dalam pikirannya. Andre dapat membaca kebingungan Tifani.
            “Ada apa?”, tanya Andre.
            “Kapan foto itu diambil, Andre?”, Tifani tampak tegang.
            “Tiga tahun yang lalu. Ada yang salah?”
            Tifani mengangguk pelan walau tidak menjawab apapun.
            “Temui dokter Tommy di rumah sakit, sesegera mungkin. Kau harus melakukan tes HIV. Itu pesan dokter Tommy.” Andre mengernyit.
            “Untuk apa? Kalaupun hasilnya positif...aku sudah menduganya.”
            Tifani menggeleng cepat.
            “Jangan keras kepala. Temui dokter Tommy besok Senin.”, Tifani berkata tegas. Dia mendelik pada pasangan gay yang dari tadi memperhatikannya dengan pandangan tidak sopan, “Apa yang sedang kalian lihat?”.
***
            Amplop putih tergeletak membisu di antara dua cangkir kopi yang mengepul di atas taplak meja kotak- kotak merah. Untuk kesekian kalinya Andre dan Tifani duduk di tempat yang sama di sudut kafetaria rumah sakit.
            Andre meraih amplop itu. Sesungguhnya dia tidak khawatir terhadap huruf- huruf yang tereja di dalamnya. Namun, mau tidak mau dia pun merasa sedikit gugup. Amplop itu dibuka dengan pisau roti di sampingnya. Pinggirannya terobek tidak rata. Andre membuka lipatan kertas pelan- pelan. Tifani mengawasinya. Andre tidak membaca paragraf pengantar, matanya langsung menuju pada tulisan kecil dengan cetak tebal di bagian bawah.
            “Negatif,” kata Tifani pendek.
            Andre menggedikkan bahunya.         
            “Kami melakukan seks aman.”
            “Bukan itu poin yang kumaksudkan,” Tifani mengaduk isi tasnya. Dia mengambil map putih dari dalamnya.
            “Andre, aku tidak pernah bertanya ini padamu sebelumnya, seperti apa yang pernah kamu teriakkan padaku pada awal- awal pertemuan kita di rumah sakit. Aku memang seorang wanita konservativ tradisional.”
            “Dan?”, Andre menunggu.
            Tifani menarik napas pamjang.
            “Aku tahu, mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.”
            “Kecuali bila aku menjadi pasien di sayap kanan.”, Andre tersenyum.
            “Andre, kepercayaan yang kuanut menyuruhku untuk membimbing orang yang tersesat ke jalan yang benar..”, Tifani mengambil jeda. Andre mengangkat alisnya tinggi, dia sedang menerka ke mana arah pembicaraan mereka.
            “Kau tahu, Andre, sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pilihan yang kau buat bersama Jhony. Dan aku masih tidak setuju sampai sekarang. Sebelum aku bicara lebih lanjut, aku hanya ingin bertanya apa yang membuatmu untuk memilih jalan itu?”.
            Andre tersenyum. Itu adalah pertanyaan tipikal yang telah dijawabnya ratusan kali.
            “Kenapa aku menjadi gay?”, Andre menyimpulkan pertanyaan Tifani. Tifani mengangguk.
            “Pada sebuah titik aku mati rasa terhadap wanita. Itu karena kurasa aku butuh sesuatu yang lain.”, Andre menerawangkan pandangannya ke halaman luar.
            “Pada titik apa?”
            “Apakah itu relevan?”, Andre mulai agak terganggu. Tifani mengangguk. Andre menghirup kopinya sebelum bicara lagi.
            “Titik di mana...wanita sudah tidak tampak menggiurkan lagi. Titik di mana Allice, kekasihku sebelum Jhony, kupergoki berselingkuh di kamar tidur apartemen kami. Kukira aku trauma. Ya, aku trauma terhadap penghianatannya. Aku mencoba lagi berhubungan dengan beberapa wanita, tapi tidak berhasil. Mereka tampak begitu menjijikkan bagiku. Sampai akhirnya aku bertemu Jhony.” Raut wajah Andre melembut ketika mengucapkan nama itu.
            “Jhony adalah belahan jiwaku. Dia yang begitu setia. Kau tahu, kan? Aku sering bepergian. Dia melengkapi apa yang tidak dapat diberikan oleh siapapun.”
            “Apakah kau benar- benar ‘terhubung’? Physically? Apakah ini yang betul- betul kau inginkan?”
            Andre tertawa. “Phisically? Kau lucu sekali, suster Tifani. Tentu saja kami tidak ‘terhubung’. Kami tidak diciptakan untuk itu.”, Andre masih tertawa. Ketika tawanya mulai meredam dia pun merenung. “ Kau ingin menyadarkanku bahwa perbuatanku salah, suster Tifani? Bahwa aku menentang hukum alam?”
            “Entahlah, Andre. Aku hanya ingin meyakini bahwa hubungan yang kalian jalani tidak wajar. Itu telah salah dari awalnya dan tidak mungkin bertahan.”
            “Kenapa kau mengatakan ini padaku? Apa gunanya?”, tanyanya dengan suara bergetar.
            Tifani kelihatan sangat tenang menghadapinya.
            “Seperti yang kukatakan di awal, Andre. Akau hanya ingin meyakinkanmu bahwa hubungan seperti itu tidak akan berhasil. Sejak awal kalian sudah tidak ‘terhubung’. Apapun yang kau rasakan, Andre, sepertinya Jhony tidak merasakan hal yang sama.”
            Andre menatapnya dengan marah, “Aku benci wanita.”
            Tifani tidak terkejut, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa dia terluka. Namun Tifani tetap tersenyum dan mencoba memahami hancurnya perasaan Andre. “Baiklah, Andre. Aku tidak akan menarik apa yang telah aku sampaikan padamu.” Dia bangkit dari kursi, “ Andre, selalu ada jalan pertobatan atas dosa- dosa masa lalu, yang perlu kau lakukan hanyalah mencobanya.” Tifani berusaha mohon diri. Dia mengucap salam yang diacuhkan oleh Andre.
***
            Dua hari kemudian, Andre kembali ke kafetaria rumah sakit setelah mengambil beberapa barang milik Jhony yang masih tertinggal. Andre membungkuk di depan etalase yang memajang kue pengantin indah dengan sepasang boneka kecil di atasnya. Sepasang. Andre berpikir miris. Ia ingat betapa sulit mencari hiasan kue pernikahannya dengan Jhony lima tahun yang lalu. Kebanyakan hiasan menampilkan sepasang pengantin, mempelai wanita dan laki- laki.
            Tanpa sadar, Andre memutar- mutar cincin di jari manisnya. Cincin pengikat janji. Janji apa? Dadanya kembali sesak dengan perasaan marah. Dia marah kepada Tifani. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia marah kepada Tuhan yang mematikan hasratnya kepada wanita. Saat ini dia berani menukar dengan apapun asal dia bisa kembali normal, merasakan lezatnya wanita- wanita di luar sana.
            Dia memperhatikan boneka mempelai wanita yang mungil dengan gaun putih. Andre pun tersenyum. Itulah perwujudan wanita yang seharusnya. Bersih dalam gaun putih. Belum terjamah sampai akhirnya kerudung rendanya dibuka di hadapan pendeta. Tiba- tiba dia membayangkan Tifani. Andre bertanya- tanya, apa warna rambut Tifani di balik kerudungnya. Pirangkah? Sehitam malam? Atau merah seperti gadis Perancis? Dia kemudian membayangkan senyumnya yang feminin. Suaranya yang halus ketika menyebut namanya...
            “Andre.”
            Dadanya bergemuruh. Dia sudah kembali dapat menghayalkan wanita.
            “Andre?”
            Tifani memang sedang berdiri di sebelah dan memanggil namanya. Andre memasukkan tangannya ke dalam saku dan menegakkan punggungnya. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan Tifani baik- baik. Wajahnya yang putih dengan pipi bersemu merah tanpa makeup. Matanya yang cokelat dan lebar dengan bulu mata tebal dan lentik.
            “Apa yang kau lihat?” tegurnya dengan galak.
            Andre mengangkat bahu dan menyeringat. Di dalam saku, jemari tangan Andre berusaha melepaskan cincin emas yang dingin dari jari manisnya.