Entri Populer

Kamis, 16 Desember 2010

"Selepas Jhon Pergi"


            Tifani Kamil, mahasiswi keperawatan asal Indonesia yang tengah menempuh studi S2 di salah satu universitas di Belanda, kini tengah menempuh pendidikan profesinya untuk memperoleh gelar Magister Nurse di rumah sakit riset milik kampusnya. Tifani selalu memulai giliran jaganya dengan mengunjungi kamar- kamar di sayap kanan rumah sakit tempat ia menempuh pendidikan profesi. Itu adalah bangunan terpisah yang dikhususkan untuk merawat pasien- pasien AIDS stadium lanjut. Orang- orang berkulit seputih mayat dengan sariawan- sariawan yang tidak pernah sembuh. Tifani mendekap clipboard-nya kemudian mengetuk pintu pertama. Dia menarik napas.
            Dua orang sedang berciuman. Keduanya laki- laki. Tifani menelan ludah susah payah, kemudian mengetuk pintu lagi sekedar untuk menyatakan kehadirannya. Keduanya memisahkan diri. Mereka adalah Jhon dan Andre. Jhony adalah pasien di rumah sakit ini. Sedangkan Andreas adalah... Tifani melirik sebentuk cincin di jari manis Andre, panggilan akrabnya. Andreas adalah ‘suami’ Jhon.
            “Pagi, Suster Fani.” Andre menarik kursi agak jauh dari tempat tidur. Dia sudah tahu persis apa yang akan dilakukan suster berjilbab itu dalam pemeriksaan rutin tiap paginya.
            “Pagi, Andre. Bila kau tak keberatan, tolong buka tirainya. Kamar ini gelap sekali.” Tifani memberikan perintah tanpa menoleh pada Andre. Dia sedang membaca dengan serius laporan kesehatan Jhon yang dituliskan oleh perawat jaga sebelumnya.
            “ Bagaimana kabarmu hari ini, Jhon?” tanya Tifani
            “Aku merasa baik. Iya kan, Andre?”, Andre yang bersandar di jendela mengangguk. Dia berpaling pada Tifani.
            “ Dan bagaimana keadaan Jhon menurutmu, suster Fani?”, Tifani mengedikkan kepalanya. Dia menatap Andre penuh arti. Andre merasa ada yang tidak beres. Dia menyesal mengajukan pertanyaan itu karena Jhon sekarang sedang menunggu jawabannya.
            “Baik, Jhon. Sebentar lagi dokter Tommy akan ke sini, memeriksa keadaanmu lebih lanjut, dan kamu akan tahu bagaimana keadaaanmu sebenarnya.”, jawab Tifani sambil memalingkan pandangannya dari Andre yang kini beralih kepada pasiennya.
            “ Selamat pagi...”, terdengar suara orang datang sambil mengetuk pintu. Dokter Tommy yang akan memeriksa Jhon telah datang.
            “ Pagi Dok...”, Tifani menjawab seraya mempersilahkan dokter Tommy mendekati Jhony.
            “ Bagaimana kabarmu hari ini Jhon?”, tanya dokter Tommy. Dia mengisyaratkan agar Jhon membuka mulut . Dokter Tommy mengeluarkan senter kecil dari sakunya, dia sedikit mengernyit ketika menemukan ada bercak- bercak putih di gusi yang memerah seperti terbakar.
            “ Baik, Jhon. Kurasa setelah sarapan, kau harus berpuasa. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan sore nanti. Rontgen dan CT-Scan. Bagaimana ?”
            Jhon memandang Andre, bingung. Rona wajah yang tersisa kini hilang sama sekali dari kulitnya yang pucat kekuningan. Andre menghampiri tempat tidur. Dia memeluk Jhon yang mulai menangis.
            “ Apakah aku akan mati Dokter? Suster?”
            Dokter Tommy hanya tersenyum. Tifani pun berusaha untuk tersennyum. Bibirnya menarik garis seperti karet yang direnggangkan dengan susah payah.
            “ Bahkan aku akan mati, Jhon. Ini hanya masalah waktu.”, Tifani masih menarik ujung bibirnya selama mungkin.
            Jhon dan Andre terdiam. Mereka meresapi kata- kata Tifani barusan. Kemudian Jhon kembali menangis dalam dekapan Andre.
            “ Baik Suster Fani, bantu Jhon mempersiapkan test rontgen dan CT-Scan-nya. Saya periksa pasien di  kamar sebelah dulu. Permisi Sus...”, dokter Tommy meninggalkan kamar Jhon.
            “ Iya Dok..”, Tifani kembali mendekati Jhon sambil terus menulis laporan kesehatan Jhon sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Tommy, kemudian menjelaskan kepada Jhon tentang pemeriksaan yang akan dijalaninya.
            Salju tebal melapisi lapangan rumput di luar jendela kafetaria yang masih lengang karena ini belum jam makan siang. Di salah satu pojok ada dua orang yang sudah tenggelam dalam sunyi.
            “ Pneumocystis carinii, apa maksudnya itu Sus?”, Andre bertanya.
            Tifani menarik napas panjang sebelum menjawab, “Itu adalah pneumonia yang disebabkan oleh jamur. Aku tahu dari hasil pemeriksaan  dokter Tommy tadi. Bercak- bercak putih di gusi itulah gejalanya.” Tifani memandang Andre dan berkata serius, “ Ini menular. Kau harus meminum antibiotik yang dokter berikan padamu.”
            “ Berarti tidak parah, bukan? Aku hanya perlu meminum antibiotik.”
            Tifani menggeleng, “Tidak bagi Jhon. Ini adalah penyebab kematian terbesar dalam kasus AIDS.” Andre tersentak. Dia menegakkan kepalanya dan menatap Tifani dengan mata melebar.
            “ Jhon mengalami masa tanpa gejala yang sangat singkat. Hanya perlu dua tahun seingatku. Dokter mengira sejak dulu ada masalah dengan sistem kekebalan tubuhnya.”, Tifani menghela napas.
            Sepasang mata hijau Andre berkaca- kaca, “Rasanya menyakitkan melihatnya tergolek lemah seperti itu. Pucat, tulang berbalut kulit. Padahal dulu dia adalah orang yang berwarna yang sangat hidup.”
            Ketika mendengar kata ‘berwarna’, yang ada di kepala Tifani adalah pengalaman yang menyambutnya ketika pertama kali di Belanda. Suatu senja menjelang tahun baru di taman kota, Tifani menyaksikan untuk pertama kali dalam hidupnya, dua orang laki- laki berciuman di bawah terangnya lampu taman. Laki- laki yang keduanya sama- sama berambut biru. Saat itu, perut Tifani mual dan dia betul- betul muntah di wastafel kamar mandi umum terdekat. Tifani tidak dapat terus- terusan muntah setiap kali menyaksikan adegan itu kembali. Dia ada di Belanda sekarang, salah satu tempat di muka bumi yang melegalkan pernikahan sejenis. Dia bekerja di rumah sakit yang memiliki instalasi khusus perawatan AIDS. Dan kebanyakan penghuninya adalah pelaku hubungan sejenis.
            Tifani teringat masa- masa ketika menempuh studi S1-nya di Indonesia. Sebulan lamanya dia menempuh mata kuliah khusus yang membahas asuhan keperawatan untuk pasien yang terinfeksi HIV/ AIDS. Kengerian yang dulu ia bayangkan ketika masih belajar, kini harus ia hadapi. Bahkan lebih dari apa yang ia bayangkan. Tifani teringat kata- kata salah satu dosen anatominya yang selalu membimbing saat praktikum dengan mayat atau cadaver istilah kerennya, “ Cadaver itulah dosen kamu yang sebenarnya di sini. Kamu akan dapat banyak ilmu darinya. Kamu akan tahu bagimana tubuh manusia sebenarnya, tidak hanya dari luar. Dan nantinya, ketika kamu sudah menempuh profesi, dosen kamu adalah pasien yang kamu tangani. Darinya kamu akan tahu berbagai permasalahan dan ilmumu akan semakin bermanfaat.” Ya pasien adalah dosen yang sebenarnya.
***
            Jhon mulai demam tiap malamnya. Dia pun kesulitan bernapas. Napasnya hanya berupa tarikan- tarikan pendek. Napas dangkal istilahnya. Jhon tidak lagi dapat tidur dengan nyenyak di malam hari karena batuk yang terus menerus. Oleh karena itu, di bawah matanya lingkaran- lingkaran hitam menjadi tampak sangat jelas.
            Terkadang di tengah malam, ketika lampu telah dipadamkan, Andre terjaga. Dia memandangi wajah Jhon dengan cahaya lampu meja di sebelah tempat tidur. Dia mengamati tulang pipi bertonjolan di wajah Jhon yang sama sekali tidak indah. Kulit pucat dengan mengerikan tertarik ke segala sisi karena begitu tipis lapisan lemak di bawahnya. Dia benar- benar tampak seperti kematian itu sendiri, batin Andre. Dia dikutuk.dan pada gilirannya aku pun mungkin akan mengalaminya. Dia dikutuk karena menentang hukum alam. Sering di bawah sadar, kata- kata itu yang bergaung. Bila keraguan mulai mencengkeram dadanya dan kebimbangan mulai menyelimuti, Andre hanya dapat mengulang – ulang sumpah pernikahannya. Aku mencintai Jhon. Aku mencintai Jhon.
            “ Kopi, Andre?” suster Tifani menyodorkan gelas styrofoam padanya. Andre menyambut gelas itu dengan senang hati. Dia tersenyum pada Tifani. Perawat yang sangat berdedikasi, pikirnya. Begitu perhatian pada setiap pasien dan mendampingi keluarganya pada masa- masa sulit. Begitupula pada Jhon.
            Mereka berdiri di depan ruang isolasi. Di balik kaca, mereka dapat melihat Jhon yang tampak menyedihkan dengan banyak selang seperti spagheti yang dipasang di seluruh tubuhnya. Alat monitor jantung berkedip- kedip dengan sinar hijau menandakan setidaknya sosok yang terbaring di sana masih hidup.
            “ Hanya soal waktu, bukan?”, Andre mendesah. Tifani merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
            “ Setiap orang harus belajar untuk merelakan. Apa- apa yang kita cintai sekarang tidak akan kekal. Kapan dia akan diambil, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Serahkan saja pada Tuhan.”
            Andre menatap Tifani. Dia tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa. Andre tidak mungkin berkata bahwa terkadang dia tidak begitu yakin Tuhan itu ada. Jelas itu tidak pantas diucapkan sekarang. Setelah dia melihat banyak kematian di tempat ini, Andre tidak mungkin berkata bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain itu, dia sangat menghormati wanita konservatif di sebelahnya. Wanita yang begitu konservatifnya menghalangi semua akses yang memungkinkan kecantikannya terlihat.
            Tifani Kamil. Andre pernah berlaku tidak adil padanya. Pada masa awal perawatan Jhon, Tifani Kamil-lah yang menjadi penanggung jawab. Andre berulang kali mengajukan keberatan kepada kepala rumah sakit. Dia tidak ingin Jhon dirawat oleh seorang fundamentalis yang beranggapan bahwa orang- orang seperti dirinya dan Jhon pantas dibunuh dengan dijatuhkan dari menara tinggi.
            Namun semua keluhan, cacian, dan komentar pedas Andre berhenti ketika dia melihat dari balik pintu, Tifani yang membersihkan muntahan Jhon. Saat itu malam natal dan kebanyakan staf rumah sakit libur. Tifani, perawat yang dengan sabar membersihkan wajah dan tubuh Jhon sambil membisikkan sesuatu yang membuat Jhon tersenyum.
            Andre menunduk sedikit. Dia berkata pelan pada Tifani, “ Terima kasih telah ada bersamaku.”
            Tifani mengguncang- guncang bahu Andre yang tertidur di sofa ruang tunggu. Saat itu pukul tiga pagi. Andre membuka matanya dan melihat wajah Tifani yang tegang. Dia langsung bangkit tanpa ada sepatah kata yang sempat diucapkan. Tifani tahu, begitu melihat mimik wajahnya, Andre pasti dapat menyimpulkan.
            Andre berlari mendahului Tifani. Suara langkah kakinya berdentam- dentam sepanjang lorong. Tifani mengikuti dengan susah payah di belakangnya. Tiba- tiba Andre berhenti, beberapa meter dari pintu ruang isolasi. Dia menoleh ke belakang menunggu Tifani.
            Di depan pintu, dua dokter berdiri kaku dan melirik gugup pada Tifani. Salah satunya adalah dokter Tommy. Dia paham, mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan kematian. Kematian mengerikan yang menyambutnya di balik pintu yang terbuka di depannya. Andre langsung menyerbu masuk, diikuti Tifani dan dokter Tommy beserta rekannya. Mata Jhon terbelalak dengan mulut sedikit terbuka. Dia melihat seperti orang yang mati tercekik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang mencekiknya. Andre berpaling dari pemandangan yang mengerikan itu. Tifani mendekat ke sisi lain tempat tidur. Dia menutupkan telapaknya ke sepasang mata Jhon yang terbuka. Andre hanya mengawasinya dalam diam.
***
            Jhon disemayamkan di kediaman Andre, sebuah rumah bergaya Victoria dengan ruang tamu yang sangat besar. Di sanalah Jhon berbaring dalam peti kayunya yang mewah. Jhon dibaringkan pada bantal sutera bersulamkan mawar putih, persis dengan mawar yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Tangannya bersedekap. Jhon tampak sangat tampan setelah para perias dari rumah duka meriasnya. Andre berterima kasih padanya. Dia tidak dapat membayangkan apa komentar para pelayat bila melihat Jhon dengan raut menakutkan yang disaksikannya pada malam kematiannya.
            Tak berapa lama, Tifani Kamil datang didampingi oleh seorang wanita yang juga berhijab, yang tidak lain adalah istri dokter Tommy. Kebanyakan pelayat yang merupakan pasangan sejenis itu menoleh pada dua orang berhijab yang baru memasuki ruang tamu. Andre merasakan pandangan menghakimi dari teman- temannya. Dia pun menghampiri keduanya.
            “Tifani, senang kau dapat datang.”
            Tifani mengangguk dan tersenyum. Dia mengenalkan Naurinnisa, istri dokter Tommy, yang menemaninya pada Andre. Tifani, Naurinnisa, dan Andre menuju peti Jhony. Tifani tidak melongok ke dalam peti. Pandangannya terpaku pada foto Jhony yang dipasang di depan peti. Andre ikut menatap foto itu.
            “Dia terlihat sangat hidup ya?”
            Tifani mengangguk pelan. Namun ada sesuatu yang lain dalam pikirannya. Andre dapat membaca kebingungan Tifani.
            “Ada apa?”, tanya Andre.
            “Kapan foto itu diambil, Andre?”, Tifani tampak tegang.
            “Tiga tahun yang lalu. Ada yang salah?”
            Tifani mengangguk pelan walau tidak menjawab apapun.
            “Temui dokter Tommy di rumah sakit, sesegera mungkin. Kau harus melakukan tes HIV. Itu pesan dokter Tommy.” Andre mengernyit.
            “Untuk apa? Kalaupun hasilnya positif...aku sudah menduganya.”
            Tifani menggeleng cepat.
            “Jangan keras kepala. Temui dokter Tommy besok Senin.”, Tifani berkata tegas. Dia mendelik pada pasangan gay yang dari tadi memperhatikannya dengan pandangan tidak sopan, “Apa yang sedang kalian lihat?”.
***
            Amplop putih tergeletak membisu di antara dua cangkir kopi yang mengepul di atas taplak meja kotak- kotak merah. Untuk kesekian kalinya Andre dan Tifani duduk di tempat yang sama di sudut kafetaria rumah sakit.
            Andre meraih amplop itu. Sesungguhnya dia tidak khawatir terhadap huruf- huruf yang tereja di dalamnya. Namun, mau tidak mau dia pun merasa sedikit gugup. Amplop itu dibuka dengan pisau roti di sampingnya. Pinggirannya terobek tidak rata. Andre membuka lipatan kertas pelan- pelan. Tifani mengawasinya. Andre tidak membaca paragraf pengantar, matanya langsung menuju pada tulisan kecil dengan cetak tebal di bagian bawah.
            “Negatif,” kata Tifani pendek.
            Andre menggedikkan bahunya.         
            “Kami melakukan seks aman.”
            “Bukan itu poin yang kumaksudkan,” Tifani mengaduk isi tasnya. Dia mengambil map putih dari dalamnya.
            “Andre, aku tidak pernah bertanya ini padamu sebelumnya, seperti apa yang pernah kamu teriakkan padaku pada awal- awal pertemuan kita di rumah sakit. Aku memang seorang wanita konservativ tradisional.”
            “Dan?”, Andre menunggu.
            Tifani menarik napas pamjang.
            “Aku tahu, mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.”
            “Kecuali bila aku menjadi pasien di sayap kanan.”, Andre tersenyum.
            “Andre, kepercayaan yang kuanut menyuruhku untuk membimbing orang yang tersesat ke jalan yang benar..”, Tifani mengambil jeda. Andre mengangkat alisnya tinggi, dia sedang menerka ke mana arah pembicaraan mereka.
            “Kau tahu, Andre, sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pilihan yang kau buat bersama Jhony. Dan aku masih tidak setuju sampai sekarang. Sebelum aku bicara lebih lanjut, aku hanya ingin bertanya apa yang membuatmu untuk memilih jalan itu?”.
            Andre tersenyum. Itu adalah pertanyaan tipikal yang telah dijawabnya ratusan kali.
            “Kenapa aku menjadi gay?”, Andre menyimpulkan pertanyaan Tifani. Tifani mengangguk.
            “Pada sebuah titik aku mati rasa terhadap wanita. Itu karena kurasa aku butuh sesuatu yang lain.”, Andre menerawangkan pandangannya ke halaman luar.
            “Pada titik apa?”
            “Apakah itu relevan?”, Andre mulai agak terganggu. Tifani mengangguk. Andre menghirup kopinya sebelum bicara lagi.
            “Titik di mana...wanita sudah tidak tampak menggiurkan lagi. Titik di mana Allice, kekasihku sebelum Jhony, kupergoki berselingkuh di kamar tidur apartemen kami. Kukira aku trauma. Ya, aku trauma terhadap penghianatannya. Aku mencoba lagi berhubungan dengan beberapa wanita, tapi tidak berhasil. Mereka tampak begitu menjijikkan bagiku. Sampai akhirnya aku bertemu Jhony.” Raut wajah Andre melembut ketika mengucapkan nama itu.
            “Jhony adalah belahan jiwaku. Dia yang begitu setia. Kau tahu, kan? Aku sering bepergian. Dia melengkapi apa yang tidak dapat diberikan oleh siapapun.”
            “Apakah kau benar- benar ‘terhubung’? Physically? Apakah ini yang betul- betul kau inginkan?”
            Andre tertawa. “Phisically? Kau lucu sekali, suster Tifani. Tentu saja kami tidak ‘terhubung’. Kami tidak diciptakan untuk itu.”, Andre masih tertawa. Ketika tawanya mulai meredam dia pun merenung. “ Kau ingin menyadarkanku bahwa perbuatanku salah, suster Tifani? Bahwa aku menentang hukum alam?”
            “Entahlah, Andre. Aku hanya ingin meyakini bahwa hubungan yang kalian jalani tidak wajar. Itu telah salah dari awalnya dan tidak mungkin bertahan.”
            “Kenapa kau mengatakan ini padaku? Apa gunanya?”, tanyanya dengan suara bergetar.
            Tifani kelihatan sangat tenang menghadapinya.
            “Seperti yang kukatakan di awal, Andre. Akau hanya ingin meyakinkanmu bahwa hubungan seperti itu tidak akan berhasil. Sejak awal kalian sudah tidak ‘terhubung’. Apapun yang kau rasakan, Andre, sepertinya Jhony tidak merasakan hal yang sama.”
            Andre menatapnya dengan marah, “Aku benci wanita.”
            Tifani tidak terkejut, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa dia terluka. Namun Tifani tetap tersenyum dan mencoba memahami hancurnya perasaan Andre. “Baiklah, Andre. Aku tidak akan menarik apa yang telah aku sampaikan padamu.” Dia bangkit dari kursi, “ Andre, selalu ada jalan pertobatan atas dosa- dosa masa lalu, yang perlu kau lakukan hanyalah mencobanya.” Tifani berusaha mohon diri. Dia mengucap salam yang diacuhkan oleh Andre.
***
            Dua hari kemudian, Andre kembali ke kafetaria rumah sakit setelah mengambil beberapa barang milik Jhony yang masih tertinggal. Andre membungkuk di depan etalase yang memajang kue pengantin indah dengan sepasang boneka kecil di atasnya. Sepasang. Andre berpikir miris. Ia ingat betapa sulit mencari hiasan kue pernikahannya dengan Jhony lima tahun yang lalu. Kebanyakan hiasan menampilkan sepasang pengantin, mempelai wanita dan laki- laki.
            Tanpa sadar, Andre memutar- mutar cincin di jari manisnya. Cincin pengikat janji. Janji apa? Dadanya kembali sesak dengan perasaan marah. Dia marah kepada Tifani. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia marah kepada Tuhan yang mematikan hasratnya kepada wanita. Saat ini dia berani menukar dengan apapun asal dia bisa kembali normal, merasakan lezatnya wanita- wanita di luar sana.
            Dia memperhatikan boneka mempelai wanita yang mungil dengan gaun putih. Andre pun tersenyum. Itulah perwujudan wanita yang seharusnya. Bersih dalam gaun putih. Belum terjamah sampai akhirnya kerudung rendanya dibuka di hadapan pendeta. Tiba- tiba dia membayangkan Tifani. Andre bertanya- tanya, apa warna rambut Tifani di balik kerudungnya. Pirangkah? Sehitam malam? Atau merah seperti gadis Perancis? Dia kemudian membayangkan senyumnya yang feminin. Suaranya yang halus ketika menyebut namanya...
            “Andre.”
            Dadanya bergemuruh. Dia sudah kembali dapat menghayalkan wanita.
            “Andre?”
            Tifani memang sedang berdiri di sebelah dan memanggil namanya. Andre memasukkan tangannya ke dalam saku dan menegakkan punggungnya. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan Tifani baik- baik. Wajahnya yang putih dengan pipi bersemu merah tanpa makeup. Matanya yang cokelat dan lebar dengan bulu mata tebal dan lentik.
            “Apa yang kau lihat?” tegurnya dengan galak.
            Andre mengangkat bahu dan menyeringat. Di dalam saku, jemari tangan Andre berusaha melepaskan cincin emas yang dingin dari jari manisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar