Entri Populer

Kamis, 23 Desember 2010

Balada Motor Melimpah Parkir Susah

Terik matahari menyapa riang, mengiringi langkahku meninggalkan gerbang sekolah. Membakar. Anehnya, di belahan bumi Indonesia lainnya, ada yang terkena banjir. Mungkin ini yang disebut- sebut pemanasan global, ya?
Panasnya bumi mendamparkanku ke halte bus di dekat pasar. Biasanya, aku cukup menunggu angkot yang lewat di depan sekolah. Tak perlu capek- capek jalan setengah kilo begini. Rutenya juga lebih enak. Pas banget turun di depan rumah.
Namun sepertinya kondisi ini akan berlangsung, setidaknya, selama beberapa bulan ke depan. Pasalnya, jalan raya yang dilewati mobil biru favoritku itu sedang perbaikan besar- besaran. Praktis rutenya harus dialihkan. Namanya juga trayek dadakan, sudah pasti muter- muter. Belok gang ini, memutari kampung yang satu, lalu keluar gang itu di kampung satunya lagi. Sekali saja deh, aku menyemarakkan ruang BP bersama gerombolan anak yang telat. Dan cukup sekali pula aku ketiduran hingga kebablasan sampai pangkalan saat perjalanan pulang gara- gara angkotnya kelamaan ngetem nggak kunjung dapat penumpang.
Setengah jam di halte akhirnya dapat bus juga. Penuh sesak!
Si mobil panjang tersaruk- saruk mengangkut kami ke tujuan masing- masing. Alhamdulillah...kebagian tempat duduk. Kalau aku laki- laki, pasti aku ikut gelantungan di pintu. Separuh badan berhmpitan di dalam, sementara sisanya terpanggang di jalanan, beradu dengan hembusan angin dari kendaraan yang lalu lalang. Kalau hujan mereka juga harus rela dihajar derasnya tumpahan bah dari langit. Dan, untuk sepasang atau malah satu kaki yang juga tak mengnjak sempurna itu, tak lantas membuat mereka membayar separuh pula.
“Eh, kantor pos, Pak!” seruku terkaget- kaget. Kuserahkan dua lembar ribuan kepada kondektur yang tiba- tiba muncul sambil mengguncangkan uang receh di depan hidungku.
Laju bus yang merayap mengantarkanku ke dalam lamunan. Banyak sekali yang muncul di benak. Tumpukan PR yang gila- gilaan sampai nyaris bikin gila beneran. Ada lagi tugas kelompok, buat makalah. Yang namanya tugas kelompok, kalau bukan di rumah, ya di rumah teman, kan? Terus bedanya PR sama tugas apa? Belum lagi laporan praktikum yang harus di kumpulkan pekan ini. Banjir ulangan yang entah disengaja atau tidak, terjadwal pekan depan.
Emang sih, sekarang lebih banyak ke warnet ketimbang nge-mall atau JJS ramai- ramai nggak jelas juntrungan. Ngomong- ngomong soal mencari bahan di internet, bukan tidak mungkin para guru itu tahu kalau aku dan teman- teman hanya copy-paste? Kami jarang banget cari bahan di perpustakaan atau dari diktat. Teman- teman yang tak mau kehilangan waktu main, nonton, dan pacaran lebih parah lagi. Mereka santai banget, asal contek jawaban PR. Tanpa beban. Tanpa sesal. Habis mau gimana? Waktunya mepet! Mana sempat?
“Aaah, pusing...pusing! Terserah deh. Ruwet!” gumamku tanpa sadar.
“Iya nih, emang ruwet. Bikin pusing!” sebuah suara entah dari mana.
Aku kaget. Perasaan suaraku pelan. Spontan aku melirik sebelahku. Bapak- bapak lagi kipas- kipas. Bukan ah! Tepisku, yakin. Jelas- jelas suaranya perempuan. Penasaran mataku menjelajah mencari kambing hitam.
“Masih jauh, Dek! Wong kita lagi terjebak macet. Simpang lima sini kan memang selalu ruwet kalau jam- jam berangkat atau pulang sekolah”, celetuk bapak- bapak di sebelahku demi melihat kepalaku celingak- celinguk. Seulas senyum manis kuhadiahkan untuk informasi singkat barusan.
“Gimana nggak pusing?”, suara itu terdengar lagi.
Oooh,, rupanya suara mbak- mbak yang berdiri menyandar kursi di depanku. Tangan kirinya mendekap sebuah buku tebal, sementara tangannya yang lain mengipasi mukanya. Sepertinya dia sedang ngobrol seru dengan mas- mas di hadapannya.
“Semester satu dulu tempat parkir cuma satu, itu pun hari- hari tertentu aja yang full. Sekarang udah semester lima. Area parkir nambah satu di gedung samping. Tapi malah tambah ruwet. Lapangan volly sama pelataran gedung bawah jadi alih fungsi. Kasihan deh yang pada kuliah di kelas- kelas bawah. Itu motor kan datang-perginya nggak terjadwal, jadi selalu bising, lah! Belum lagi kalau latihan volly pas sore. Masih full motor tu lapangan. Gimana bisa latihan?”, lanjut mbak- mbak yang terdengar dongkol berat.
“Huu, gitu aja dibikin pusing! Bisa nggak lulus- lulus kamu! Berani taruhan, mau ditambah dua sampai tiga area parkir lagi, lapangan volly sama pelataran kampusmu bakal tetep banjir motor.” Komentar temannya.
Wah, sepertinya menarik nih. Nguping, ah! Jarang lho, orang mau ngegosipin area parkir. Lagian, sepertinya mereka nggak peduli obrolan mereka dikonsumsi publik.
“Jangan melotot gitu!”, mas- mas tadi menyambung.
“Fakultasku juga, kok! Dulu Cuma ada dua area parkir di samping gedung D sama E. Sekarang... tetep dua sih, tapi lahan- lahan kosong, yang dulu penuh rumput sama semak, habis disemen. Yang dibangun malah bangku- bangku beton sama gazebo. Bisa nebak dong, pelan tapi pasti, para motor- motor mahasiswa membanjiri lahan- lahan kosong itu. Mobil- mobil juga tak mau kalah. Masih mending fakultasmu hanya tiga jurusan. Tempatku enam. Bayangin aja ruwetnya!”
“Iya, ya? Dipikir- pikir aneh juga, kalau diperhatikan, motor mereka keluaran terbaru semua lho. Kinclong- kinclong, gitu. Kemarin- kemarin pas aku bawa motor, giliran mau pulang gampang banget carinya. Terlihat jelas antara yang jadul sama yang baru keluar dari pabrik, hehe...!”
“Sembarangan!”
Aku tersenyum sendiri. Area parkir sekolahku sendiri tak ubahnya dealer serba ada. Segala merek, entah Jepang entah China, mulai kelas 100cc hingga 125 cc, empat tak atau jet matic, semuanya ada. Di pinggir jalan raya, di depan sekolah juga berderet mobil- mobil mengkilap milik teman- teman borjuku. Lucu!
Guru- guru seolah tak mau tersaingi muridnya. Buktinya, dari beberapa gelintir di area parkir, kini mobil mereka sudah sampai ke halaman. Yang duluan bermobil juga tambah gaya, bisa gonta- ganti sesuka hati. Malu dong disamakan! Gitu kali ya pikir mereka?”
“Kalau bukan karena malu, lalu apa?” sambung lelaki itu lagi.
“Ya itu tadi. Bingung parkirnya, malas antar keluarnya, macet. Kayak sekarang ini nih! Padahal tren inovasi motor sekarang kan racing, ya? Lha, kalau macet melulu, nggak optimal dong!”
“Kata siapa? Buktinya kecelakaan di jalan raya meningkat signifikan. Tugas polisi jadi ikut- ikutan optimal, kan?”
“Mau gimana lagi? Penduduk makin banyak, kebutuhan transportasi otomatis naik dong! Itu kali salah satu alasan pemerintah bangun jalan di sana- sini.”
“Waduh, pantesan aja simpul ruwet ini makin ruwet. Orang mahasiswanya aja cara mikirnya masih kayak kamu. Penduduk banyak berbanding lurus dengan kebutuhan transportasi, itu betul. Fakta. Tapi, kalau solusinya bangun jalan, yang ujung- ujungnya gusar- gusur rumah dan tanah rakyat, berani taruhan, endingnya bakalan sama kayak area parkir di fakultas kita. Jalan raya, selain tambah lebar, juga tambah macet.”
“Kok bisa?” tanyaku di dalam hati.
Tanpa disadarinya, mas- mas tadi menyahuti kebingunganku. “Ya, bisa! Solusinya bukan di jalan raya, tapi transportasi!”
“Lha iya...kan banyak banget sekarang sampai membludak gini. Harus dilebarin kan?”
“Huuh,, dengerin dulu! Belum- belum udah dipotong!”
Aku makin penasaran.
“Negeri dengan penduduk sebanyak Indonesia ini, yang pulaunya berserakan di mana- mana, bukan hanya butuh alat transportasi yang banyak, melainkan juga bagus dan murah. Jangan motong dulu! Yang aku maksud transportasi umum. Bukan motormu, motorku, atau mobil- mobil di luar sana itu.”
“Maksudmu nyaman, bersih, tepat waktu, rutenya jelas, nggak sodok sana- sini kejar setoran, gitu kan? Wah, itu di luar negeri sono Bos! Di sini, kalau punya sendiri, ngapain naik bus? Panas! Berdiri melulu, nggak duduk- duduk, atau gelantungan kayak di luaran itu! Jalannya, kalau nggak pelan banget, ya ngebut sambil balapan sama temennya. Dan yang paling nyebelin nih, selalu aja ada yang nggak punya perasaan nyalain cerobong lokomotif,” sungut mbak itu. Suaranya sengaja dikeraskan saat menyoal rokok.
“Nah, ini dia ,masalah utamanya,’ si mas tersenyum lucu, “Pemerintah selalu setengah- setengah membenahi transportasi. Makanya kita- kita pada malas naik kendaraan umum. Di sisi lain, izin impor kendaraan mewah dipermudah, pajak dipermurah, pabrik- pabrik perakitan kendaraan bermotor juga nggak pernah sepi inovasi. Sampai- sampai syarat kredit motor bisa luar biasa gampangnya. Akibatnya, orang- orang berlomba nambah atau gonta- ganti kendaraan. Parahnya lagi, KTP aja belum wajib, tapi udah pada gatal punya SIM. Gimana jalan nggak penuh kalau satu rumah dengan empat anggota keluarga aja misalnya, satu kepala satu mobil?”
“Perhatikan saja kota kecil kita ini! Ada stasiun, terminal juga ada, bandara dekat. Dan yang lebih fantastis lagi, ada rel melintang di tanah kota warisan kolonial yang ajaibnya masih berfungsi. Itu modal, Bos! Transportasi paling cocok di negeri berpenduduk padat adalah yang bisa ngangkut banyak orang sekali jalan. Coba kalau semua fasilitas itu tertata rapi, nyaman, dan murah! Kita bisa ke mana- mana naik trem kayak di Jepang atau Eropa, lho. Wuih, asyik banget tuh!”
“Iya, apalagi kalau pedestrian dan jalur lambat asri. Enaknya! Jujur aja, untuk kota yang jarak antar pusat aktivitasnya nggak jauh- jauh amat, naik sepeda atau jalan kaki lebih asyik. Tapi, ya itu tadi. Harus nyaman! Kalau panas gini, aku ogah.”
Pedestrian yang asri? Wow, anganku langsung terbang ke jalan setapak di kiri- kanan jalan raya yang teduh oleh pepohonan nan rindang. Di setiap sudut perempatan, taman- taman mungil penuh bunga pasti melepas penat sambil berselanjar kaki di hamparan rumput hijau setelah capek berjalan.
“Oh iya, satu lagi yang harus dibenahi. Mental majikan dan semangat tempe bangsa kita. Selama itu masih ada, mau fasilitas bagus atau jelek, nggak bakal ada perubahan deh!”
“Oke Bos!”, sahut mbak itu. “Tapi pemerintah kudu punya perencanaan yang matang, dong, kalau mau bangun ini- itu. Jangan asal bongkar, gali sana- sini. Mana ngurugnya nggak rapi lagi. Bikin tambah macet dan becek juga kalau lagi musim ujan!”
“Jadi besok ngebus lagi, nih? Atau naik sepeda aja?” suara mas mahasiswa ditingkahi celoteh mbak mahasiswa makin sayup terdengar.
Bus kembali merayap begitu simpul- simpul macet terurai. Suara bising beradu sumpah serapah sopir yang saling berebut celah agar bisa jalan duluan. Tapi aku tak peduli. Indahnya miniatur “Desaku yang Permai” versi Bu Kasur di alam imajinasiku membuai dengan sapaan riang dan senyum ramah orang- orang yang saling berpapasan.
Sampai akhirnya....
“Mbak, bangun, Mbak! Sudah sampai terminal. Mbak turun mana?” satu suara sumbang mengagetkanku. Seketika suara asri buyar berganti pemandangan suram. Bapak- bapak di sebelahku tidak ada, mas dan mbak mahasiswa tadi juga lenyap. Kosong. Hanya ada aku. Sementara tepat di depanku, sopir, kenek, dan kondektur cengar- cengir menatapku.
Seketika aku terlonjak dari kursi, atau lebih tepatnya dari posisi tidur sambil duduk. Hah, ketiduran lagi?!
Aduh, kayaknya pelajar- pelajar seperti aku belum pantas menikmati fasilitas murah nan nyaman sebelum membenahi mental pemalas. Orang baru naik bus begini saja sering ketiduran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar