Entri Populer

Selasa, 21 Desember 2010

Ujung Jalan

Emiria, mahasiswi keperawatan asal Indonesia yang tengah menempuh studi S2 di salah satu universitas di Belanda, kini tengah menempuh pendidikan profesinya di rumah sakit riset milik kampusnya. Emiria selalu memulai giliran jaganya dengan mengunjungi kamar-kamar di sayap kanan rumah sakit tempat ia menempuh pendidikan profesi. Itu adalah bangunan terpisah yang dikhususkan untuk merawat pasien-pasien AIDS stadium lanjut. Orang-orang berkulit seputih mayat dengan sariawan-sariawan yang tidak pernah sembuh. Emiria mendekap clipboard-nya kemudian mengetuk pintu pertama. Dia menarik napas.
Dua orang sedang berciuman. Keduanya laki-laki. Emiria menelan ludah susah payah, kemudian mengetuk pintu lagi sekedar untuk menyatakan kehadirannya. Keduanya memisahkan diri. Mereka adalah James dan Andre. James adalah pasien di rumah sakit ini. Sedangkan Andreas? (Emiria melirik sebentuk cincin di jari manis Andre, panggilan akrabnya) Ia adalah ‘suami’ James.
“Pagi, Suster Emiria.” Andre menarik kursi agak jauh dari tempat tidur. Dia sudah tahu persis apa yang akan dilakukan suster berjilbab itu dalam pemeriksaan rutin tiap paginya.
“Pagi, Andre. Bila kau tak keberatan, tolong buka tirainya. Kamar ini gelap sekali.” Emiria memberikan perintah tanpa menoleh pada Andre. Dia sedang membaca dengan serius laporan kesehatan James yang dituliskan oleh perawat jaga sebelumnya.
“ Bagaimana kabarmu hari ini, James?” tanya Emiria
“Aku merasa baik. Iya kan, Andre?”
Andre yang bersandar di jendela mengangguk. Dia berpaling pada Emiria.
“Dan bagaimana keadaan James menurutmu, suster Emiria?”
Emiria mengedikkan kepalanya. Dia menatap Andre penuh arti. Andre merasa ada yang tidak beres. Dia menyesal mengajukan pertanyaan itu karena James sekarang sedang menunggu jawabannya.
“Baik, James. Sebentar lagi dokter Tommy akan ke sini, memeriksa keadaanmu lebih lanjut, dan kamu akan tahu bagaimana keadaaanmu sebenarnya.” jawab Emiria sambil memalingkan pandangannya dari Andre yang kini beralih kepada pasiennya.
“Selamat pagi...” terdengar suara orang datang sambil mengetuk pintu. Dokter Tommy yang akan memeriksa James telah datang.
“Pagi Dok...” Emiria menjawab seraya mempersilahkan dokter Tommy mendekati James.
“Bagaimana kabarmu hari ini, James?” tanya dokter Tommy. Dia mengisyaratkan agar James membuka mulut. Dokter Tommy mengeluarkan senter kecil dari sakunya, dia sedikit mengernyit ketika menemukan ada bercak- bercak putih di gusi yang memerah seperti terbakar.
“Baik, James. Kurasa setelah sarapan, kau harus berpuasa. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan sore nanti. Rontgen dan CT-Scan. Bagaimana ?”
James memandang Andre, bingung. Rona wajah yang tersisa kini hilang sama sekali dari kulitnya yang pucat kekuningan. Andre menghampiri tempat tidur. Dia memeluk James yang mulai menangis.
“ Apakah aku akan mati Dokter? Suster?”
Dokter Tommy hanya tersenyum. Emiria pun berusaha untuk tersennyum. Bibirnya menarik garis seperti karet yang direnggangkan dengan susah payah.
“Bahkan aku akan mati, James. Ini hanya masalah waktu.” Emiria masih menarik ujung bibirnya selama mungkin.
James dan Andre terdiam. Mereka meresapi kata-kata Emiria barusan. Kemudian James kembali menangis dalam dekapan Andre.
“Baik Suster Emiria, bantu James mempersiapkan test rontgen dan CT-Scan-nya. Saya periksa pasien di kamar sebelah dulu. Permisi Sus...” dokter Tommy meninggalkan kamar James.
“Iya Dok..” Emiria kembali mendekati James sambil terus menulis laporan kesehatan James sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Tommy, kemudian menjelaskan kepada James tentang pemeriksaan yang akan dijalaninya.
***
Salju tebal melapisi lapangan rumput di luar jendela kafetaria yang masih lengang karena ini belum jam makan siang. Di salah satu pojok ada dua orang yang sudah tenggelam dalam sunyi.
“Pneumocystis carinii, apa maksudnya itu Sus?” Andre bertanya.
Emiria menarik napas panjang sebelum menjawab, “Itu adalah pneumonia yang disebabkan oleh jamur. Aku tahu dari hasil pemeriksaan dokter Tommy tadi. Bercak bercak putih di gusi itulah gejalanya.” Emiria memandang Andre dan berkata serius, “Ini menular. Kau harus meminum antibiotik yang dokter berikan padamu.”
“Berarti tidak parah, bukan? Aku hanya perlu meminum antibiotik.”
Emiria menggeleng, “Tidak bagi James. Ini adalah penyebab kematian terbesar dalam kasus AIDS.” Andre tersentak. Dia menegakkan kepalanya dan menatap Emiria dengan mata melebar.
“James mengalami masa tanpa gejala yang sangat singkat. Hanya perlu dua tahun seingatku. Dokter mengira sejak dulu ada masalah dengan sistem kekebalan tubuhnya.” Emiria menghela napas.
Sepasang mata hijau Andre berkaca- kaca, “Rasanya menyakitkan melihatnya tergolek lemah seperti itu. Pucat, tulang berbalut kulit. Padahal dulu dia adalah orang yang berwarna yang sangat hidup.”
Ketika mendengar kata ‘berwarna’, yang ada di kepala Emiria adalah pengalaman yang menyambutnya ketika pertama kali di Belanda. Suatu senja menjelang tahun baru di taman kota, Emiria menyaksikan untuk pertama kali dalam hidupnya, dua orang laki-laki berciuman di bawah terangnya lampu taman. Laki- laki yang keduanya sama- sama berambut biru. Saat itu, perut Emiria mual dan dia betul-betul muntah di wastafel kamar mandi umum terdekat. Emiria tidak dapat terus-terusan muntah setiap kali menyaksikan adegan itu kembali. Dia ada di Belanda sekarang, salah satu tempat di muka bumi yang melegalkan pernikahan sejenis. Dia bekerja di rumah sakit yang memiliki instalasi khusus perawatan AIDS. Dan kebanyakan penghuninya adalah pelaku hubungan sejenis.
Emiria teringat masa-masa ketika menempuh studi S1-nya di Indonesia. Sebulan lamanya dia menempuh mata kuliah khusus yang membahas asuhan keperawatan untuk pasien yang terinfeksi HIV/AIDS. Kengerian yang dulu ia bayangkan ketika masih belajar, kini harus ia hadapi. Bahkan lebih dari apa yang ia bayangkan. Emiria teringat kata-kata salah satu dosen anatominya yang selalu membimbing saat praktikum dengan mayat atau cadaver istilah kerennya, “Cadaver itulah dosen kamu yang sebenarnya di sini. Kamu akan dapat banyak ilmu darinya. Kamu akan tahu bagimana tubuh manusia sebenarnya, tidak hanya dari luar. Dan nantinya, ketika kamu sudah menempuh profesi, dosen kamu adalah pasien yang kamu tangani. Darinya kamu akan tahu berbagai permasalahan dan ilmumu akan semakin bermanfaat.” Ya pasien adalah dosen yang sebenarnya.
***
James mulai demam tiap malamnya. Dia pun kesulitan bernapas. Napasnya hanya berupa tarikan- tarikan pendek. Napas dangkal istilahnya. James tidak lagi dapat tidur dengan nyenyak di malam hari karena batuk yang terus menerus. Oleh karena itu, di bawah matanya lingkaran- lingkaran hitam menjadi tampak sangat jelas.
Terkadang di tengah malam, ketika lampu telah dipadamkan, Andre terjaga. Dia memandangi wajah James dengan cahaya lampu meja di sebelah tempat tidur. Dia mengamati tulang pipi bertonjolan di wajah James yang sama sekali tidak indah. Kulit pucat dengan mengerikan tertarik ke segala sisi karena begitu tipis lapisan lemak di bawahnya. Dia benar- benar tampak seperti kematian itu sendiri, batin Andre. Dia dikutuk.dan pada gilirannya aku pun mungkin akan mengalaminya. Dia dikutuk karena menentang hukum alam. Sering di bawah sadar, kata-kata itu yang bergaung. Bila keraguan mulai mencengkeram dadanya dan kebimbangan mulai menyelimuti, Andre hanya dapat mengulang-ulang sumpah pernikahannya. Aku mencintai James. Aku mencintai James.
“ Kopi, Andre?” suster Emiria menyodorkan gelas styrofoam padanya. Andre menyambut gelas itu dengan senang hati. Dia tersenyum pada Emiria. Perawat yang sangat berdedikasi, pikirnya. Begitu perhatian pada setiap pasien dan mendampingi keluarganya pada masa- masa sulit. Begitupula pada James.
Mereka berdiri di depan ruang isolasi. Di balik kaca, mereka dapat melihat James yang tampak menyedihkan dengan banyak selang seperti spagheti yang dipasang di seluruh tubuhnya. Alat monitor jantung berkedip-kedip dengan sinar hijau menandakan setidaknya sosok yang terbaring di sana masih hidup.
“Hanya soal waktu, bukan?”, Andre mendesah. Tifani merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
“Setiap orang harus belajar untuk merelakan. Apa-apa yang kita cintai sekarang tidak akan kekal. Kapan dia akan diambil, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Serahkan saja pada Tuhan.”
Andre menatap Emiria. Dia tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa. Andre tidak mungkin berkata bahwa terkadang dia tidak begitu yakin Tuhan itu ada. Jelas itu tidak pantas diucapkan sekarang. Setelah dia melihat banyak kematian di tempat ini, Andre tidak mungkin berkata bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain itu, dia sangat menghormati wanita konservatif di sebelahnya. Wanita yang begitu konservatifnya menghalangi semua akses yang memungkinkan kecantikannya terlihat.
Emiria Kamal. Andre pernah berlaku tidak adil padanya. Pada masa awal perawatan James, Emiria Kamal-lah yang menjadi penanggung jawab. Andre berulang kali mengajukan keberatan kepada kepala rumah sakit. Dia tidak ingin James dirawat oleh seorang fundamentalis yang beranggapan bahwa orang-orang seperti dirinya dan James pantas dibunuh dengan dijatuhkan dari menara tinggi.
Namun semua keluhan, cacian, dan komentar pedas Andre berhenti ketika dia melihat dari balik pintu, Emiria yang membersihkan muntahan James. Saat itu malam natal dan kebanyakan staf rumah sakit libur. Emiria, perawat yang dengan sabar membersihkan wajah dan tubuh James sambil membisikkan sesuatu yang membuat James tersenyum.
Andre menunduk sedikit. Dia berkata pelan pada Emiria, “Terima kasih telah ada bersamaku.”
***
Emiria mengguncang-guncang bahu Andre yang tertidur di sofa ruang tunggu. Saat itu pukul tiga pagi. Andre membuka matanya dan melihat wajah Emiria yang tegang. Dia langsung bangkit tanpa ada sepatah kata yang sempat diucapkan. Emiria tahu, begitu melihat mimik wajahnya, Andre pasti dapat menyimpulkan.
Andre berlari mendahului Emiria. Suara langkah kakinya berdentam- dentam sepanjang lorong. Emiria mengikuti dengan susah payah di belakangnya. Tiba-tiba Andre berhenti, beberapa meter dari pintu ruang isolasi. Dia menoleh ke belakang menunggu Emiria.
Di depan pintu, dua dokter berdiri kaku dan melirik gugup pada Emiria. Salah satunya adalah dokter Tommy. Dia paham, mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan kematian. Kematian mengerikan yang menyambutnya di balik pintu yang terbuka di depannya. Andre langsung menyerbu masuk, diikuti Emiria dan dokter Tommy beserta rekannya. Mata James terbelalak dengan mulut sedikit terbuka. Dia melihat seperti orang yang mati tercekik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang mencekiknya. Andre berpaling dari pemandangan yang mengerikan itu. Emiria mendekat ke sisi lain tempat tidur. Dia menutupkan telapaknya ke sepasang mata James yang terbuka. Andre hanya mengawasinya dalam diam.
***
Sesudah pemakaman James, Andre kerap kali duduk membisu di kafe yang terletak di ujung jalan dekat pemakan. Matanya senantiasa menatap area gundukan tanah yang menyimpan jasad James. Tidak ada yang tahu, apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Suatu kali Emiria menemukannya di tempat itu, tapi mulutnya bungkam terkunci.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar